“Memang berat sekali tugas yang harus kau pikul ini, Gola,” kata Paman Manggala di tengah jalan.”Tapi engkau sudah terlanjur ikut misi ini. Jadi tak ada kata mundur kendati apa pun yang ada di hati kita,” katanya lagi.
Pragola tak mengomentari ucapan Paman Manggala. Dia hanya menguntit saja di belakang. Sementara itu malam telah larut benar. Burung-burung malam sudah bersuara. Sesekali terdengar di atas dahan pohon rimbun, namun sesekali juga terdengar lewat di angkasa yang gelap pekat.
Pragola berjalan sambil menunduk. Bukan lantaran matanya tengah memilih-milih jalan yang rata, melainkan ada berbagai pikiran berkecamuk di benaknya.
“Seharusnya aku tak perlu mengagumi ksatria bernama Ginggi itu…” gumamnya seorang diri.
Paman Manggala perlu menahan langkahnya manakala mendengar gumaman pemuda yang berjalan di belakangnya ini.
“Mengapa engkau tertarik pada Ksatria Ginggi?” gumam pula Paman Manggala tanpa menoleh ke belakang.
“Tidak tertarik benar…” dengus Pragola. ”Mulanya memang begitu. Namun belakangan saya berpikir, mustinya kita benci orang itu!” lanjutnya masih dengan suara setengah mendengus.
“Memang benar, kita harus benci dia, sebab kalau lelaki itu masih hidup, suatu saat akan menjadi penghalang besar misi kita,” kata Paman Manggala.
Bukan perkara itu yang kau pikirkan. Tapi saya memang punya dendam pribadi!” kata Pragola.
Dan Paman Manggala berpaling ketika didengarnya anak muda itu duduk di tepi jalan.
Dan Paman Manggala berpaling ketika didengarnya anak muda itu duduk di tepi jalan.
“Ini adalah urusan negara dan tak ada dendam pribadi di dalamnya,” kata Paman Manggala, ikut menjatuhkan badannya di samping Pragola yang sudah duduk duluan.
“Tapi bagi saya, ini dendam pribadi…” gumam Pragola lagi.”Ki Guru Sudireja tewas karena ada kaitannya dengan keberadaan lelaki bernama Ginggi itu,” sambung Pragola.
“Saya dengar cerita orang, penyerbuan pasukan Sagaraherang ke Pakuan sepuluh tahun silam, mengalami kegagalan karena ketangguhan perwira-perwira Pakuan. Namun kemenangan mereka pun katanya tidak terlepas lantaran kehadiran ksatria bernama Ginggi itu. Coba, kalau lelaki sombong itu tak hadir di sana, barangkali Pakuan bisa ditundukkan dan Ki Guru Sudireja ada dalam kemenangan,” kata Pragola.
“Belum tentu demikian kejadiannya. Tapi yang jelas, karena Ksatria Ginggi ada di pihak
Pakuan, maka kita harus mencoba melawannya bila suatu saat kita terpaksa bertemu dengannya,” kata Paman Manggala.
“Kita akan bertemu dengannya sebab saya akan berusaha mencarinya!” tutur Pragola mantap.
Dan percakapan mereka harus dihentikan manakala dari kejauhan terlihat cahaya obor.
Sayup-sayup mereka pun mendengar kentongan dipukul secara beraturan.
“Mari kita menghindar. Mereka adalah rombongan tugur (ronda),” bisik Paman Manggala.
Kedua orang itu berjingkat meninggalkan tepian jalan berbalay. Mereka berlari cepat tanpa menimbulkan bunyi. Sesekali larinya harus di atas wuwungan, bila kebetulan melewati sederetan rumah-rumah kayu jati yang kokoh.
Ternya Paman Manggala membawanya ke sebuah asrama prajurit yang terletak di tepi kuta (benteng) dalam.
Pragola memuji kehebatan Paman Manggala. Dua tahun dia berpisah denganorang tua ini.
Tahu-tahu Paman Manggala sudah bisa menyusup ke Pakuan. Dan melihat Paman Manggala Masuk ke asrama prajurit, mudah diduga bahwa dia sudah berhasil menyusup sebagai prajurit Pakuan.
Mengapa tidak mudah menyusup sebagai prajurit, bahkan untuk menjadi orang penting di sana pun bisa terjadi. Buktinya, tokoh-tokoh Cirebon seperti Goparana dan Jaya Sasana pun telah menyusup menjadi perwira Pakuan. Ini adalah penyusupan untuk yang kesekian kalinya dari berbagai upaya penyusupan.
Dalam hatinya Pragola masih tak mengerti, mengapa Pajajaran yang dikenal kuat ini mudah disusupi lawan? Ada memang berita yang mengatakan bahwa orang Pajajaran menghargai kejujuran. Artinya, mereka lebih senang bertindak-tanduk jujur dan terbuka ketimbang melakukan sesuatu kepura-puraan. Dan karena mereka merasa jujur terhadap orang lain, maka sepertinya tak ada alasan untuk mencurigai orang lain.
Kalau berita mengenai prilaku dan perangai orang-orang Pajajaran ini benar begitu, maka Pragola menganggap bahwa jalan pikiran mereka itu bodoh. Menurut pemuda ini, sikap dan prilaku jujur dalam keseharian tidak bisa diterapkan dalam kehidupan berpolitik. Menurutnya, politik adalah kepura-puraan. Untuk mencapai tujuan, siasat apa pun selalu ditempuh. Dan yang namanya siasat tak lebih dari reka-perdaya dalam upaya mengalahkan lawan.
Kejujuran orang Pajajaran terbukti telah menciptakan pitapak (perangkap) untuk mereka sendiri. Pemuda ini teringat akan cerita puluhan tahun silam ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M). pasukan tanpa identitas yang diduga dikirim secara tidak resmi dari Banten telah berhasil melakukan penyerbuan sampai ke wilayah jawi khita (benteng kota luar). Menurut sinyalemen, musuh Pajajaran berhasil menyerbu hingga ke pusat kekuasaan lantaran sebelumnya ada gerakan penyusupan. Orang-orang Pajajaran merasa dirinya jujur sehingga tak pernah percaya kepada orang lain berlaku khianat terhadap mereka.
Orang-orang jujur memang biasanya selalu menganggap bahwa orang lain pun akan sama berlaku jujur terhadapnya. Inilah sebuah kelemahan dari orang jujur kalau pun tak dikatakan mereka bodoh.
Seperti malam ini misalnya, kendati para prajurit Pakuan berhati-hati, tapi sikap jujur mereka dalam menilai orang telah membahayakan diri mereka sendiri, bahkan membahayakan keselamatan negaranya. Terlalu bahaya mengukur hati dan prilaku orang lain dengan kebiasaan diri sendiri. Orang-orang Pajajaranlah contohnya, kata Pragola dalam hatinya.
Para prajurit yang tinggal di asrama itu percaya begitu saja ketika Paman Manggala mengabarkan bahwa ada pembantu Pangeran Yudakara yang baru datang dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Dan lagi, siapa yang tak percaya, sebab pada esok harinya Pragola dijemput oleh dua orang jagabaya puri Yogascitra untuk ikut hadir dalam pertemuan penting di sana.
Paman Manggala sendiri sebenarnya amat terkejut dengan kejadian ini. Begitu cepatnya Pragola mendapatkan kepercayaan dari Pangeran Yudakara ini. Dia memastikan, Pragola dijemput orang-orang Puri Yogascitra karena pengaturan Pangeran Yudakara. Karenaperkiraan ini, mau tak mau Paman Manggala amat memuji kecepatan gerak dari pangeran itu.
“Apakah Paman Manggala pun dipanggil serta?” tanya Pragola sebelum berkemas.
“Tidak, hanya engkau seorang yang dipanggil Pangeran Yogascitra. Di puri, Pangeran Yudakara pun sudah hadir,” ujar para jagabaya.
“Engkau berangkatlah ke sana, semoga apa yang menjadi cita-citamu terlaksana…” tutur Paman Manggala memegang pundak pemuda itu.
Akhirnya Pragola meninggalkan asrama prajurit untuk mengikuti kedua orang jagabaya itu.
Yang disebut puri Yogascitra adalah sebuah kompleks pemukiman yang ada di sekitar dalem khita (kota benteng dalam).
Memang di wilayah dalem khitalah para bangsawan tinggal. Tempat mereka ada di sekitar kompleks istana Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati (istana raja). Atau lebih tepatnya lagi, puri-puri milik bangsawan dan kerabat istana dibangun hampir mengelilingi istana, kecuali ada beberapa bagian yang dibiarkan kosong tanpa gangguan. Misalnya di tengah bangunan utama di mana Raja tinggal. Yang berada di sana hanyalah puri-puri keluarga saja. Di sebelah timur istana bahkan hanya berupa taman tempat keluarga Raja bercengkrama. Pragola pernah mendapatkan berita bahwa tempat indah ini bernama Taman Mila Kancana.
Puri Yogascitra tepat berada di tepi jalan besar berbalay (jalan dengan susunan batu-batu kali). Kompleks puri ini cuckup luas dan dikelilingi kuta (benteng) terbuat dari susunan batu kali dan tanah liat. Ada lawang seketeng (gerbang) tepat di muka jalan dan dijaga empat orang jagabaya dengan tameng logam di tangan kiri dan sebuah tombak di tangan kanan.
Mereka nampaknya siap-siaga sekali. Namun manakala tahu siapa yang datang, keempat jagabaya tidak mempersulitnya. Pragola yang diiringkan dua jagabaya dipersilakan memasuki gerbang.
Seusai masuk gerbang, Pragola harus melewati jalan berbalay lagi yang di kiri-kanannya terhampar lapangan rumput hijau. Banyak beberapa jenis unggas peliharaan di sana. Beberapa angsa nampak berkejaran di tepi kolam berair jernih. Di sudut sana bahkan ada ayam jantan berbulu merah kekuningan dan tubuh tegap serta kuat. Ayam jantan itu berkokok nyaring ketika Pragola lewat di sana.
Pemuda itu baru tahu bahwa jalan berbalay itu mengantarkannya ke sebyah paseban (bangsal) beratap ijuk dan berlantai papan jati tua yang mengkilap kehitam-hitaman. Di tempat itu sudah terdapat beberapa orang. Ada yang duduk di atas kursi kayu, ada juga yang bersila di atas hamparan alketip tebal buatan Negri Parasi (Parsi, atau Iran kini).
Dari beranda, Pragola sudah bisa melihat bahwa di ruangan paseban itu Pangeran Yudakara telah hadir. Di duduk di depan di sebuah kursi jati berukir, berdampingan dengan seorang bangsawan tua gagah. Pragola cepat menduga, bangsawan yang berpakaian beludru hitam gaya bedahan lima yang hampir seluruh pinggiran bajunya dihiasi kelim emas itu tentulah Pangeran Yogascitra, penasehat Ratu Pakuan.
Bangsawan itu pasti usianya sudah amat lanjut. Melihat sepasang pipinya yang nampak dalam serta alis tebal berwarna putih mulus, Pragola menaksir, barangkali pejabat tinggi ini usianya lebih dari tujuhpuluh tahun. Namun yang pemuda itu kagumi, kendati usianya pasti sudah demikian tinggi, bangsawan tua itu masih nampak gagah. Kulit wajahnya putih agak kemerahan dan hanya sedikit keripit yang mengganggu dahinya. Tubuhnya masih sanggup tegak ketika duduk di kursi kayu jati itu. Jadi, kendati kursi itu memakai sandaran, namun orang tua itu tidak memanfaatkannya untuk menyandarkan punggungnya yang tidak terlihat bungkuk karena usia tua. Kepalanya pun mendongak berwibawa namun jauh dari kesan angkuh. Gagah sekali manakala dia mengangguk-angguk ketika Pragola menghormat rengkuh. Ornamen warna emas yang menghiasi iket sawit (jenis ikat kepala namun jauh lebih rapih ketimbang iket orang kebanyakan) yang digunakan bangsawan itu nampak berkelapkelip karena pantulan cahaya.
Semua orang yang hadir di paseban sama-sama menoleh ke arah beranda untuk melihat siapa yang datang. Mereka menatap Pragola dengan penuh seksama.
“Diakah punggawa muda itu, Yuda…?” terdengar pangeran tua itu mengajukan pertanyaan kepada Pangeran Yudakara. Amat perlahan suaranya. Namun karena semua orang sama-sama memperhatikan Pragola tanpa bersuara, maka suara halus yang keluar dari mulut pangeran tua itu terdengar nyata.
“Benar Pamanda, dialah Punggawa Pragola yang saya ceritakan tempo hari itu…” jawab Pangeran Yudakara.
Semua hadirin nampak lebih memperhatikan Pragola manakala namanya dikenalkan.
“Duduklah punggawa muda…” kata pangeran tua itu.
Pragola segera duduk bersila. Tidak di atas hamparan alketip, melainkan hanya di atas lantai papan jati saja. Dan kalau pin dia duduk dalam deretan para ksatria, namun hanya mengambil posisi paling ujung saja. Dia sadar, kedudukannya di sini paling rendah bila dibandingkan dengan para ksatria yang nampak gagah dan berwibawa itu.
Pragola duduk bersila dengan berupaya bersikap tenang. Padahal ada ketegangan yang sangat di hatinya. Betapa tidak, inilah pertama kalinya dia menginjak kompleks Pakuan. Inilah pertama kalinya dia berhadapan dengan orang-orang penting Pakuan. Hatinya berkecamuk dan penuh pertentangan. Jauh sebelum dia berhadapan dengan Pangeran Yogascitra, dia sudah mendapatkan berita mengenai keberadaan orang ini dengan berbagai pendapat dan penafsiran.
Di wilayah Kacutakan Caringin atau Waringin di mana dia tinggal, hampir semua orang bersepakat bahwa negri yang bernama Pajajaran harus dimusnahkan sebab banyak pejabatnya melakukan penyelewengan hidup. Mereka kerjanya bersenang-senang sedangkan di lain fihak rakyat penuh derita. Buktinya, ketika rayat Kacutakan Waringin ingin melepaskan diri dari Pajajaran dan berniat menggabungkan diri dengan Cirebon, Pakun marah dan mengirimkan pasukan. Kacutakan Waringin porak-poranda digempur pasukan dari Pakuan. Cutak Wirajaya, ayahanda Pragola memang tidak tewas secara langsung dalam peristiwa penyerbuan ini, namun tetap saja kematiannya diakibatkan oleh penyerbuan orang-orang Pakuan.