Selasa, 30 November 2010

Kunanti di Gerbang Pakuan (bag5)


Sejenak semua orang termangu-mangu ketika Paman Manggala selesai menceritakan kisah ini. Pragola masih tetap menunduk dan Pangeran Yudakara serta Pewira Jaya Sasana memangku tangan di dada. Kecuali Perwira Goparana yang melirik tajam ke arah Pragola.
“Hati-hati anak muda. Kalau pun engkau bersedia ikut dalam misi ini, tapi jangan kau jadikan gerakan kita ini sebagai ajang untuk pemuas balas dendam. Ini adalah perjuangan. Dan tak ada urusan pribadi di sini. Dalam agamaku tabu melakukan peperangan dengan dada bersimbah dendam!” kata Perwira Goparana mengingatkan dengan suara tegas.
Pragola masih menundukkan wajahnya. “Sepuluh tahun silam, Cirebon mengutus ksatrianya untuk menyusup ke Pakuan. Dia sudah hampir berhasil mengemban misi dalam upaya melemahkan sendi-sendi kekuatan di pusat istana. Sayang sekali, ksatria yang masih muda itu terperosok ke dalam urusan pribadi. Dia mendendam Sang Prabu Ratu Sakti karena urusan cinta…” kata Perwira Goparana.  “Mungkin yang dimaksud olehmu adalah Raden Purbajaya. Sepuluh tahun lalu memang ada peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Ratu Sakti. Peristiwa ini hampir-hampir melibatkan Bangsawan Yogascitra,” gumam Pangeran Yudakara.
“Peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Raja sebetulnya di luar perintah Cirebon. Tapi apa pun kenyataannya, menurutku tindakan Purbajaya waktu itu bisa membantu usaha-usaha kita. Paling tidak dengan adanya peristiwa itu, telah terjadi bentrokan dan saling curiga di antara pejabat dan bangsawan Pakuan,” tutur Pangeran Yudakara seperti bicara pada diri sendiri.
“Namun harus diingat Pangeran, tujuan Cirebon menyusupkan orang-orangnya ke pusat pemerintahan Pajajaran bukan sekadar ingin mengadu-domba dan membuat kekacauan di
Pakuan. Tujuan Cirebon adalah menginginkan Pajajaran benar-benar menjadi negara besar dengan landasan kepercayaan dan keyakinan agama baru,” giliran Perwira Jaya Sasana yang berbicara, padahal sejak tadi lelaki setengah baya ini kerjanya hanya mengatupkan bibir saja. Perwira Goparana mula-mula termenung mendengar perkataan rekannya ini, namun pada akhirnya mengangguk juga sebagai tanda membenarkan akan pendapat Perwira Jaya Sasana ini.
Mereka bertiga berbincang-bincang dulu sebentar. Namun sesudahnya, kembali menatap
Pragola.  “Sudah sejauh mana pengetahuanmu tentang Dayo Pakuan beserta tugasmu nanti, anak muda?” tanya Perwira Goparana. Pemuda itu tidak menjawab, melainkan menoleh kepada Paman Manggala.
“Sudah saya beri sedikit pengetahuan. Tapi alangkah baiknya bila Juragan sendiri yang memberi pengarahannya…” tutur Paman Manggala hormat sekali.
Suasana hening sejenak. Perwira Goparana malah tengah menyaksikan seekor nyamuk yang mendekati api pelita. Nyamuk itu terbang mengelilingi cahaya pelita. Dan dengan gagah berani menyambar-nyambar lidah api pelita. Namun keberaniannya kurang perhitungan. Sebab pada suatu saat tubuhnya hangus menabrak lidah api pelita. Perwira Goparana tersenyum melecehkan manakala melihat tubuh nyamuk yang sedikit gosong dan jatuh tak berarti di atas tikar pandan.
 “Syarat utama memasuki Pakuan bukan keberanian, melainkan kehati-hatian,” gumam
Perwira Goparana tanpa menatap ke arah siapa pun. “Dan engkau anak muda, engkau hanya bisa berhasil ikut dalam ikut misi ini bila sanggup bertindak hati-hati,” sambungnya sambil mulai menatap Pragola.
“Seusai pergantian pucuk pimpinan dari Sang Prabu Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya, ada beberapa perubahan situasi di Pakuan. Dulu, zamannya Ratu Sakti, suasana di dalam istana seperti api dalam sekam. Sesama pejabat saling bercuriga satu sama lain. Atau bahkan saling bermusuhan dan saling menjelek-jelekkan. Akibat dari situasi ini, mereka lengah terhadap gerakan penyusupan. Namun kini keadaan sudah tak seperti itu. Sang Lumahing Majaya bukan orang berperangai keras, namun kendati dia bukan pemarah dan pendendam, dia adalah seorang Raja yang amat hati-hati. Barangkali rasa hati-hati ini terbentuk karena peristiwa yang menyertai sebelumnya. Kekacauan bahkan pertempuran yang beberapa kali terjadi di wilayah Pakuan, berlangsung karena adanya tindak penyusupan dan pengkhianatan. Maka bercermin dari peristiwa ini, semua pejabat dan perwira di Pakuan amat berhati-hati dalam menerima kedatangan orang dari luar. Wilayah-wilayah kandagalante seperti Tanjungpura, Muaraberes, Tanjungbarat, kendati masih di bawah kekuasaan Pakuan tapi penguasa di sana sudah menaruh kecurigaan lain. Apalagi terhadap wilayah Sagaraherang. Bahwa sepuluh tahun yang lalu wilayah ini menjadi pusat pengendali penyerbuan ke Pakuan, masih menjadi mimpi buruk yang tak mau mereka lupakan. Itulah sebabnya,, dalam upaya penyusupan ini, engkau harus bertindak hati-hati…” kata Perwira
Goparana panjang-lebar.
Pragola mengangguk-angguk kecil beberapa kali sebagai tanda maklum akan penjelasan ini.
Namun sesudah merenung sejenak, pada akhirnya pemuda bermata bulat binar ini mengemukakan pendapatnya.
“Ampun beribu ampun Juragan bila apa yang ingin saya kemukakan ini tak berkenan di hati,”
tuturnya menyembah dan menunduk.
“Sampaikanlah apa yang menjadi pikiranmu, anak muda. Sebab lebih banyak pendapat yang masuk, akan lebih bagus,” kata Perwira Jaya Sasana menatap pemuda itu.
“katakanlah anak muda!” kata Perwira Goparana pendek.
Pragola mulai berani menyampaikan pendapatnya.
“Juragan, dalam upaya merebut Pakuan dari penguasa sekarang, apakah tidak lebih baik  kita jalankan dengan perilaku yang jujur? Kita ingin mengubah Pajajaran ke arah sesuatu yang lebih baik. Jadi, upayakanlah maksud-maksud seperti itu dengan dengan tata-cara yang baik dan jujur pula. Gerakan menyusup hanya punya arti bahwa kita bekerja dengan main sembunyi, berpura-pura dan berlaku tak jujur. Padahal untuk menampilkan kebenaran yang kita miliki, segala tindakan yang berani dan penuh kejujuran haruslah kita ke depankan agar mereka yakin dan percaya akan maksud-maksud kita,” kata Pragola tegas. Mendengar ucapan ini wajah Paman Manggala nampak pucat-pasi. Serta-merta dengkulnya dia benturkan ke arah dengkul pemuda itu yang sama-sama duduk bersila. Rupanya Pragola pun tahu bahwa Paman Manggala menegurnya. Buktinya pemuda itu pun menoleh padanya dengan wajah agak memerea karena jengah.
Untung saja ketiga orang pejabat itu tidak merasa heran atau pun marah akan ucapan pemuda itu. Perwira Goparana malah hanya terkekeh kecil sesudah menyimak pendapat seperti itu.
“Engkau masih hijau anak muda. Dan kejujuran yang engkau patuhi hanyalah kejujuran kaku semata,” ujar Perwira Goparana. Pragola mengernyitkan dahinya, merasa bingung akan koreksi dari pejabat ini.
“Ketahuilah anak muda, yang namanya kejujuran, dalam suasana perang bisa diterjemahkan secara luas. Begitu pun apa yang kita kenal sebagai kelicikan. Sementara orang bahkan mengatakan bahwa kejujuran dan kelicikan sudah berbaur, sebab yang ada hanyalah sesuatu yang bernama siasat. Siasat adalah sesuatu gerakan yang harus disembunyikan terhadap musuh. Jadi bila kita sekarang melakukan gerakan penyusupan, itu bukan penyerbuan yang dikemas dengan ketidakjujuran, melainkan sebuah siasat untuk mencapai kemenangan,” tutur Perwira Goparana.
Pragola belum mengiyakan atau pun menolak pendapat ini. Yang dia lakukan hanya menundukkan wajahnya saja seperti menatap tikar pandan di bawahnya. Namun rupanya
Perwira Goparana memakluminya bahwa pemuda itu belum puas atas kesimpulan ini. “Baik, kau dengarkanlah penjelasanku ini, anak muda,” ujar Perwira berkulit hitam ini,”Pajajaran kendati kerapkali digoncang pemberontakan, tapi negara yang tetap setia terhadap agama lama ini masih memiliki ketangguhan militer. Dulu lebih dari tigapuluh tahun lalu ketika Pakuan diperintah Sang Prabu Ratu Dewata, Dayo (ibukota negri) diserbu oleh pasukan dari Banten yang dikirim secara tak resmi. Ini adalah pertama kalinya kekuatan pasukan agama baru menyerbu sampai ke wilayah pusat pemerintahan. Kalau gerakan ini dilakukan secara terbuka, tak mungkin berhasil karena pertahanan di Pakuan amat tangguh dan berlapis-lapis. Hanya karena siasat penyusupan dan pengkhianatan dari dalam saja Pakuan bisa ditembus. Itu pun hanya sampai ke alun-alun benteng luar. Sebab untuk mencapai benteng dalam dan apalagi ke kompleks istana Sri Bima Untarayana Madura Suradipati (tempat tinggal Raja dan keluarganya) tetap kami tak sanggup. Itulah tandanya Pajajaran masih tetap tangguh,” kata Perwira Goparana.”Kita tak sanggup berperang dengan kejujuran yang kaku, sebab kejujuran yang kaku artinya berperang tanpa siasat," sambungnya lagi.
Pragola mendengarkan perkataan dan pendapat pejabat ini sambil tetap menundukkan kepala.
Tapi Perwira Goparana rupanya tidak mau lagi memperbincangkan perkara ini. Sekarang dia lebih menitikberatkan kepada pengarahan dan petunjuk untuk Pragola.
Perwira ini menerangkan situasi Pakuan pada akhir-akhir ini. Menurutnya, kendati tindakan penyusupan ke istana tidak semudah seperti dulu, tapi inilah saat terbaik bagi mereka untuk kembali memasuki pusat pemerintahan Pakuan. Hal ini memungkinkan sebab di kalangan pejabat istana tengah terjadi lagi beberapa pertikaian dan perbedaan pendapat.
“Seperti sudah diketahui oleh fihak kita, perangai Ratu Pakuan yang memerintah sekarang kurang suka melakukan kekerasan. Raja yang usianya masih cukup muda ini seperti menuruni perangai kakeknya, yaitu Sang Prabu Ratu Dewata. Sang Lumahing Majaya lebih senang tinggal di kuil untuk memperdalam agama lama. Dia lebih percaya bahwa agama yang dipeluknya benar-benar bisa menjamin ke arah keselamatan. Agamanya dipercaya bias menolak bala, termasuk bahaya kedatangan musuh. Dia berkilah, musuh tak akan datang  menyerang selama mereka tak menampakkan sikap permusuhan kepada fihak lain. Sikap Raja Pajajaran seperti ini sebetulnya akan amat menguntungkan kita apabila para pembantunya tidak bersikap lain. Para perwira bahkan penasihat Raja punya pendapat lain. Mereka pada umumnya punya kekhawatiran yang sangat akan pendapat rajanya ini. Menurut para perwira, Raja terlalu terlena dalam kehidupan keagamaan tanpa melihat kenyataan yang hidup dalam politik kenegaraan. Padahal menurut para perwiranya, Pajajaran sekarang akan kembali menghadapi bahaya musuh dari luar bila mereka terlena dan tak mau memperkokoh pertahanan militer. Secara diam-diam, Pangeran Yogascitra sebagai penasihat Raja beserta beberapa perwira akan bertekad memperkuat militer kendati Raja kurang setuju. Mereka akan mencoba menghimpun kekuatan dengan cara mencoba mengumpulkan kembali tokoh-tokoh penting yang dianggap punya kekuatan. Pangeran Yogascitra sekarang tengah berupaya
mencari tokoh-tokoh yang dulu terkenal tapi kini menghilang dari percaturan. Dari sejumlah tokoh yang mereka harapkan, disebut-sebut nama Ki Darma Tunggara, Ki Rangga Guna dan murid mereka yang bernama Ginggi. Inilah salah satu tugas kita, yaitu menghadang usahausaha mereka dalam upaya menghimpun kekuatan. Kekuatan Pakuan harus diusahakan lemah mengiringi lemahnya pucuk pimpinan mereka. Bila di segala sektor mereka sudah lemah, maka rencana penyerbuan ke Pakuan akan kembali dilakukan Banten,” kata Perwira Goparana secara rinci.
Sejenak suasana menjadi hening seusai perwira ini memberikan penjelasan.
“Aku bersyukur, engkau sudah bisa memasuki wilayah Pakuan dengan selamat. Untuk
selanjutnya, engkau akan bergabung dengan Pangeran Yudakara, anak muda…” kata Perwira Goparana melirik ke arah Pragola. Kemudian pemuad itu melirik ke arah Pangeran Yudakara seolah minta pembenaran atas apa yang dikatakan Perwira Goparana.
“Benar, engkau akan ikut aku, tapi selanjutnya engkau akan kususupkan ke puri Yogascitra, sebab dari sanalah segala macam rencana mereka dikendalikan,” ujar Pangeran Yudakara menatap kepada Pragola.
Mereka berbincang-bincang lagi beberapa lama, sampai akhirnya segala sesuatu selesai
dirundingkan.
Pertemuan kecil yang sifatnya rahasia ini akhirnya bubar. Pragola dan Paman Manggala
dipersilakan meninggalkan tempat itu lebih awal.
<<   >>