Selasa, 30 November 2010

Kunanti di Gerbang Pakuan (bag4)


“Sikap Ki Sudireja sebetulnya sejalan dengan kerajaan pemeluk agama baru. Tapi mengapa orang tua sakti itu tidak tertarik untuk memindahkan keyakinannya ke dalam pangkuan agama baru?” tanya lagi Perwira Goparana penasaran.
Tak ada yang mencoba menjawabnya.
“Lain kali aku ingin bersua dengan Ki Sudireja. Akan aku ajak dia memasuki agama baru di Cirebon…” gumam Perwira Goparana.
“Barangkali sudah tidak mungkin lagi, Juragan…” jawab Paman Manggala menunduk.
 “Mengapa?” Perwira Goparana mengerutkan dahi dan menatap tajam kepada Paman
Manggala.
“Ki Sudireja sudah meninggal…”
“Meninggal karena sakit?”
“Bukan dia tewas dalam pertempuran…”
“Pertempuran? Sudah tak ada pertempuran berarti sejak peristiwa pemberontakan
Kandagalante Sunda Sembawa sepuluh tahun silam itu,” gumam Perwira Goparana
merenung.
“Memang tak ada pertempuran besar. Tapi penguasa Pakuan yang baru, yaitu Sang Lumahing Majaya didesak oleh para pembantunya untuk mengejar sisa-sisa pemberontak, terutama yang dianggap membahayakan. Ki Sudireja adalah salah seorang yang terlibat dalam pemberontakan itu. Pasukan pemberontak dari Kandagalante Sagaraherang dalam upaya melakukan penyerbuan ke Pakuan, meminta bantuan dari wilayah timur yang memang menginginkan Pajajaran segera jatuh. Ki Sudireja merupakan salah satu anggota pasukan yang dikirim oleh Cirebon secara tidak resmi. Ki Sudireja ikut pertempuran di Bukit Badigul.
Dan ketika pasukan Sunda Sembawa sudah kucar-kacir karena fihak Pakuan lebih kuat, walau dengan susah-payah akhirnya Ki Sudireja bisa meloloskan diri dari kepungan. Tapi begitulah, pasukan Pakuan mengejar terus. Hampir tiga tahun lamanya Pakuan melakukan pengejaran kepada tokoh-tokoh penting yang ikut penyerbuan ke Bukit Badigul. Dalam jangka waktu tersebut, hampir semua tokoh pemberontak bisa diburu, kecuali dua orang, yaitu Ki sudireja dan Ki Banaspati. Namun pada tiga tahun lalu, Ki Sudireja akhirnya bisa diketemukan oleh para perwira Pakuan di perbatasan Sumedanglarang…” kata Paman Manggala mengisahkan perjalanan hidup Ki Sudireja.
Manakala mendengar kisah paling akhir ini, tak terasa ada air mata menetes turun dari sepasang pipi Pragola. Ini adalah kisah sedih yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun olehnya. Bayangkan, orang yang mengasuh dirinya sejak kecil, bahkan yang mendidiknya berbagai ilmu kedigjayaan manakala dia beranjak dewasa, kini sudah tiada. Ki Sudireja memang kendati sudah berusia lanjut, akan tetapi mati dalam ketidakwajaran, yaitu dibunuh ramai-ramai oleh sebuah pasukan asing. Pragola tidak menyaksikan persis pembunuhan ini.
Tapi menurut orang-orang yang menyaksikan, Ki Sudireja memang dikepung oleh belasan orang asing yang entah datang dari mana. Kelompok penyerbu itu tidak menampakkana identitas yang khas. Mereka tidak seperti kaum prajurit sebab hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan. Mereka juga tidak nampak seperti orang Cirebon atau punSumedanglarang. Namun yang jelas, kepandaian belasan pengepung itu amat tinggi. Sepandai apa pun ilmu berkelahi Ki sudireja, bila dikepung oleh orang-orang yang rata-rata berkepandaian tinggi, tak mungkin dirinya bisa menang. Jangankan mencapai kemenangan, hanya sekedar untuk meloloskan diri saja sudah tak bisa.
Inilah yang membuat penasaran Pragola. Sebagai murid yang sejak kecil dididik ilmu keperwiraan, mati dalam pertempuran adalah biasa. Tapi yang membuat hatinya tak dapat
menerima, karena kekalahan gurunya diakibat oleh suatu kelicikan.
“Sebagai lelaki sejati engkau harus bersifat ksatria, kalau pada suatu saat engkau harus berkelahi, maka berkelahilah dengan adil dan jujur!” kata Ki Sudireja di saat-saat melatih
kedigjayaan. Petuah ini tertanam erat di hati sanubarinya. Sampai manakala Pragola melebarkan sayap pengalamannya, petuah ini tak pernah terabaikan. Kalau pun pada suatu saat dia harus berhadapan dengan orang lain sebagai lawan, Pragola selalu memilih-milihnya.
Dia berani menentang lawan yang tingkat kepandaiannya ada diatas dirinya dan akan lebih bersyukur bila kepandaian lawan seimbang dengan dirinya. Tapi sebaliknya, Pragola tidak pernah mau berhadapan dengan orang lawan yang tingkat kepandaiannya di bawah dirinya.
Dia tak mau mengambil keuntungan dari posisi seperti itu. Bagi dirinya, letak kehormatan seorang lelaki bukan dari hasil menundukkan orang yang kemampuannya ada di bawah dirinya. Bila ada orang melakukan kekeliruan, Prgola tak pernah menegurnya dengan kekerasan seandainya yang dihadapinya hanya orang-orang biasa. Dia tak pernah menjadikan kepandaian sebagai alat untuk menakut-nakuti.
Jadi, ketika mendengar gurunya tewas karena pengeroyokan, Pragola menilainya sebagai
sesuatu hal yang tak adil. Pemuda ini merasa penasaran. Itulah sebabnya, mengapa Pragola hari ini, berada di Pakuan.
<<   >>