Menerima Tugas
Masa terus berjalan, tak terasa satu tahun telah lewat dari peristiwa itu. Namun selama itu, Ginggi tetap dilatih ilmu kewiraan oleh gurunya. Semakin hari semakin keras dan semakin hari semakin berlatih taktik-taktik ganas.
Hingga tiba pada suatu saat Ki Darma memanggil dirinya.
“Sudah tiba saatnya engkau melaksanakan tugas,” kata Ki Darma sambil bersila di hamparan lumut tebal di bawah pohon carik angin.
Berdegup jantung anak muda itu. Tugas apakah? Gurunya pernah bilang kalau latihan kewiraan bagian dari tugas. Apakah tugas sebenar-benarnya adalah kali ini?
“Tugas apakah, Aki?” tanyanya.
“Kau harus turun gunung!”
“Turun gunung?”
“Sudah saatnya kau bergaul dengan orang banyak. Kau lihat, kau alami dan kau rasakan. Maka sesudah semuanya kau pelajari, kau pasti akan tergerak untuk menjalankan tugas yang aku maksud,” kata Ki Darma, suaranya datar tanpa menatap wajah muridnya.
Namun Ginggi masih duduk di hadapan gurunya dengan tatapan tajam.
“Satu atau dua tahun silam sudah aku utarakan perihal ini. Bahwa hari-hari kelabu tengah menggayuti langit Pajajaran rakyat tengah digoncang penderitaan karena kebijakan rajanya yang keliru. Rakyat mengeluh karena kewajibanseba yang tinggi…”
“Apakah seba itu?”
“Seba adalah semacam pajak tahunan. Setiap tahun pemerintah mengutip pajak dari rakyatnya. Namun setiap tahun pula, pajak selalu naik tinggi, sementara kehidupan rakyat tak beranjak naik,” jawab Ki Darma menghela napas panjang.
Ginggi masih tetap menatap tajam.
“Kendati Negri Pajajaran masih tetap subur, namun kesejahteraan ternyata bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemuas nafsu pejabat semata,” tutur Ki Darma lagi.
Ginggi mengerutkan dahinya.
“Berkelanalah carilah saudara-saudaramu,” kata Ki Darma lagi sehingga mencengangkan Ginggi.
“Apakah saya punya saudara?”
“Bukan pertalian darah. Mereka adalah saudara seperguruan,” kata Ki Darma pula sambil melanjutkan penjelasannya, bahwa dulu lebih sepuluh tahun silam, sebelum dirinya menemukan seorang anak telantar di kubangan lumpur Kampung Caringin, Ki Darma pernah punya empat orang murid.
“Pertama aku punya murid dua orang, Ki Banaspati dan Ki Bagus Seta. Mulanya aku latih mereka ilmu kewiraan dengan harapan mereka kelak bisa mengabdi kepada negara. Namun belakangan manakala kulihat negara dalam keadaan bobrok, maka kucegah mereka. Mereka hanya kusuruh mempertahankan negri tanpa mereka harus ikut-campur urusan kenegaraan. Dengan dua orang muridku, aku berpisah ketika perang melawan Kerajaan Cirebon berkecamuk,” tutur Ki Darma panjang-lebar.
Ginggi mengangguk-angguk.
“Dari Pakuan aku mengembara ke mana-mana. Sampai akhirnya tiba di Wilayah Karatuan Talaga. Di sini aku punya murid dua saudara kembar, Ki Rangga Guna dan Ki Rangga Wisesa. Seperti yang kini aku perintahkan kepadamu, maka kepada keempat muridku pun aku perintahkan hal yang sama, yaitu berdirilah di pihak rakyat yang lagi menderita. Kini belasan tahun berlalu, aku tak tahu khabar berita dari mereka. Kalau hidup mesti terdengar beritanya dan kalau mati mesti terlihat kuburnya. Kau carilah mereka dan kau gabunglah dengan mereka kalau selama itu mereka tetap mentaati perintahku. Tapi kalau yang terjadi adalah sebaliknya, kau harus tentang mereka.”
Ginggi mengangguk-angguk kembali, bahkan kini anggukannya nampak bersemangat sekali.
Mengapa tak begitu, sebab sebenarnya Ginggi sudah merasa bosan belasan tahun berada di Puncak Cakrabuana dan jarang bertemu manusia lainnya. Saat-saat tertentu Ki Darma suka menyuruhnya untuk turun ke kampung di kaki gunung namun Ki Darma melarang Ginggi banyak berhubungan dengan penduduk.
Sekarang Ki Darma malah menyuruhnya untuk turun gunung dan bergabung dengan khalayak ramai. Sudah barang tentu ini amat menggembirakan hatinya.
“Kau tentu akan banyak menerima tantangan hidup bahkan derita. Tapi tak apa. Untuk membantu sesama maka penderitaan adalah mulia,” kata Ki Darma.
“Kapan saya harus mulai turun gunung, Aki?” tanya Ginggi tak sabar.
“Esok subuh sebelum pagi benar-benar lewat!”
“Esok subuh?” Ginggi terkejut. “Mengapa begitu mendadak?”
“Tidak mendadak sebab telah aku perhitungkan jauh hari…”
“Tapi saya harus diberitahu jauh sebelumnya juga, Aki!”
Ki Darma hanya terkekeh saja.
“Ayo masuk kamarmu. Kau siapkan apa yang mesti kau bawa.”
Ki Darma berdiri duluan dan berjalan menuju rumah gubuknya. Namun karena Ginggi masih terdiam, Ki Darma pun berbalik lagi.
“Apakah engkau tak mau melihat kediamanmu untuk penghabisan kalinya?” tanya Ki Darma.
“Seperttinya saya tak boleh kembali ke sini, Aki?”
“Hidup penuh misteri. Apa yang akan terjadi besok tak akan ada yang tahu persis.”
“Jangan samakan dengan saudara seperguruan saya lainnya yang hingga kini tak pernah pulang, Aki,” kata Ginggi.
Hanya dijawab dengan senyuman tipis gurunya.
Karena Ki Darma tetap memaksa, akhirnya Ginggi berjingkat menuju kamar rumah panggungnya. Namun kegairahan melihat dunia luar serasa tersendat oleh hal-hal mendadak seperti ini. Ya, perintah gurunya terasa mendadak dan seperti terkesan ada sesuatu yang dipaksakan.
Keganjilan ini semakin jelas ketika di kamarnya sudah tergolek pula sebuah buntalan kain. Ternyata benar, gurunya sudah mempersiapkan segalanya sejak dini.
“Aki, benar-benarkah saya harus pergi secepat ini?”
“Ya …”
“Subuh hari?”
“Ya, supaya engkau tidak kemalaman di Hutan Bukit Banyukerta …”
“Aki …”
“Apa?”
“Tak sebaiknyakah kita berkelana berdua?”
“Hahaha!” Ki Darma tertawa keras.
“Kau beritahu, kapan saya harus kembali?”
“Nanti bila benar harapanku sudah terkabul. Tapi aku pun sebenarnya tak peduli kapan kau akan kembali. Kau harus tahu, perjuanganmu amatlah berat. Membela rakyat bukanlah pekerjaan enteng.”
“Ki Guru, saya akan berusaha melaksanakan tugasmu dengan baik sebab saya ingin segera kembali ke sini …” kata Ginggi yang hanya disambut oleh gelak tawa gurunya. “Apakah engkau tak mau melihat kediamanmu untuk penghabisan kalinya?” tanya Ki Darma.
“Seperttinya saya tak boleh kembali ke sini, Aki?”
“Hidup penuh misteri. Apa yang akan terjadi besok tak akan ada yang tahu persis.”
“Jangan samakan dengan saudara seperguruan saya lainnya yang hingga kini tak pernah pulang, Aki,” kata Ginggi.
Hanya dijawab dengan senyuman tipis gurunya.
Karena Ki Darma tetap memaksa, akhirnya Ginggi berjingkat menuju kamar rumah panggungnya. Namun kegairahan melihat dunia luar serasa tersendat oleh hal-hal mendadak seperti ini. Ya, perintah gurunya terasa mendadak dan seperti terkesan ada sesuatu yang dipaksakan.
Keganjilan ini semakin jelas ketika di kamarnya sudah tergolek pula sebuah buntalan kain. Ternyata benar, gurunya sudah mempersiapkan segalanya sejak dini.
“Aki, benar-benarkah saya harus pergi secepat ini?”
“Ya …”
“Subuh hari?”
“Ya, supaya engkau tidak kemalaman di Hutan Bukit Banyukerta …”
“Aki …”
“Apa?”
“Tak sebaiknyakah kita berkelana berdua?”
“Hahaha!” Ki Darma tertawa keras.
“Kau beritahu, kapan saya harus kembali?”
“Nanti bila benar harapanku sudah terkabul. Tapi aku pun sebenarnya tak peduli kapan kau akan kembali. Kau harus tahu, perjuanganmu amatlah berat. Membela rakyat bukanlah pekerjaan enteng.”
“Ki Guru, saya akan berusaha melaksanakan tugasmu dengan baik sebab saya ingin segera kembali ke sini …” kata Ginggi yang hanya disambut oleh gelak tawa gurunya. Namun Ginggi tak tersinggung gurunya hanya tertawa saja. Yang dia sedihkan adalah mengapa perpisahan dengan gurunya harus secepat ini.
Ginggi memang rasakan, selama bersama gurunya tak ada perhatian berlebih. Tak ada kesejahteraan baik makanan atau pun pakaian. Kalau Ki Darma berburu mencari makanan di hutan, hasilnya terkadang dimakan sendiri. Kalau ada sisa, Ginggi makan sisanya, kalau tak ada, Ginggi cari sendiri, sekalian bawa hasil lebih untuk persediaan gurunya. Namun demikian, Ginggi tidak pernah tersiksa dengan ini. Perbuatan gurunya yang seenaknya bahkan dipakai alasan agar dirinya pun bisa merdeka pula seperti gurunya. Di antaranya bisa menolak perintah gurunya. Inilah pertautan batin yang erat antara dirinya dengan gurunya, yaitu sama-sama memberikan kebebasan.
Tapi kini ada perasaan tak enak mendera dirinya. Kini pemuda ini merasa khawatir, khawatir tak bisa bertemu lagi dengan gurunya. Ginggi juga merasa khawatir, khawatir akan kesendirian Ki Darma. Puncak Gunung Cakrabuana ini begitu sunyi dan begitu sepi. Tidakkah Ki Darma kelak akan merasa kesunyian sebab telah kehilangan dirinya?
Kalau Ginggi sudah pergi turun gunung, tentu Ki Darma sudah tak bisa marah-marah lagi seperti biasa. Bila dirinya sudah pergi, Ki Darma pasti sudah tak punya lagi teman untuk bersilang pendapat. Dan kalau dirinya sudah mengembara, pasti Ki Darma sudah tak bisa memaksakan pendapatnya lagi. Ya, kepada siapa Ki Darma akan berhubungan untuk melepaskan segala macam unek-unek di hatinya?
“Aki, izinkan saya untuk berkumpul denganmu, dalam satu dua hari ini saja…” pinta Ginggi mengiba.
“Kau harus berangkat sekarang juga, Ginggi!”
“Tidakkah Aki menginginkan saya berburu kelinci dulu, berburu menjangan dulu atau sekadar berburu burung walik saja dulu? Kita kan perlu makan bersama untuk sekadar mengucapkan selamat berpisah?”
“Tidak”
“Aki …”
“Tidak. Besok subuh kau harus pergi. Sekarang cepatlah tidur!” bentak Ki Darma.
Wajah Ginggi meredup. Maka dengan serta-merta dia pun segera beranjak ke biliknya. Begitu hingga subuh tiba.
Ketika kokok ayam pertama berbunyi dari hutan kejauhan, Ki Darma sudah mengetuk-ngetuk daun pintu.
“Bangun! Bangun!” teriak Ki Darma.
Ginggi yang semalaman tak bisa tidur sebenarnya hanya tinggal buka pintu saja. Dia pun sudah siap dengan buntalan di punggungnya.
“Ya, bagus. Sekarang cepatlah pergi!”
Ginggi masih terpaku.
“Ini sebuah perintah, anak muda. Sesuatu yang jarang aku lakukan. Namun kali ini, perintah harus kau taati,” kata Ki Darma tegas.
“Baik, Ki Guru …”
“Dan jangan sekali-kali kau berani tengok lagi ke belakang …”
“Baik, Ki Guru …”
“Kendati ada sesuatu yang aneh sekali pun …”
“Ba …baik, Ki Guru!”..... (Bersambung)