Jumat, 05 November 2010

Bagian 6

 Memasuki hutan Bukit Banyukerti, sinar matahari hanya nampak dari sela-sela dedaunan saja, padahal sinar matahari itu tepat di atas ubun-ubun.
 Maka ucapan Ki Darma benar belaka sebab bila Ginggi tidak meninggalkan puncak pada subuh hari, maka dia akan memasuki hutan ini pada senja hari. Padahal sesudah melewati perbukitan ini, dia pun masih harus melewati satu wilayah perbukitan lagi, Pasir Jami Datar namanya.
 Kata Ki Darma waktu kemarin, kedua perbukitan ini jarang dijamah manusia. Penduduk di kaki bukit jarang yang berani naik ke sini apalagi di saat senja hari. Ginggi mempercayainya sebab dia pun tahu kalau di daerah ini masih didapat berbagai binatang buas seperti ular dan macan tutul. Namun banyaknya binatang buas pun sebenarnya merupakan tanda bahwa di daerah ini banyak binatang buruan, termasuk yang biasa dimakan manusia.
 Di Bukit Banyukerti banyak didapat pohon kuray, puspa, rasamala dan juga kareumbi. Bila tiba saatnya kareumbi berbuah, maka akan banyak burung walik di sana. Bulu burung ini indah kehijau-hijauan namun dagingnya pun cukup gurih untuk dibakar.
 Hari-hari ini kareumbi tengah berbuah ranum. Dan Ginggi amat menyesal, mengapa Ki Darma memaksa dirinya untuk pergi. Padahal bila tak begitu, hari-hari ini dia bersama gurunya bisa pesta besar memakan burung walik bakar.
 “Burung walik kesenangan Ki Guru. Dia pasti tahu hari-hari ini kareumbi tengah berbuah. Tapi kenapa Ki Guru malah mengusirku?” keluh Ginggi dalam hatinya.
 Dan di saat hatinya tengah berkeluh-kesah inilah dia mendadak menghentikan langkahnya.
 Telinga Ginggi melalui ilmuHiliwir Sumping , yaitu semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus telah mendeteksi desiran-desiran mencurigakan.
 “Ada belasan orang berlari cepat dan menggunakan ilmuNapak Sancang …” desis mulutnya perlahan.
 Napas Sancang adalah semacam ilmu meringankan tubuh. Orang yang pandai menggunakan ilmu ini bisa berlari di atas hamparan rumput tanpa telapak kaki menginjak tanah, bahkan bisa berlari dengan cepat di atas permukaan air.
 Kata Ki Darma, orang-orang pandai di Pajajaran suka menggunakan ilmu ini di saat penting. Namun orang-orang dari manakah di tengah hari seperti ini berduyun-duyun menuju puncak?
 Untuk tidak berpapasan dengan mereka, Ginggi segera meloncat ke atas dahan sebuah pohon.
 Maka tak berapa lama kemudian, belasan orang terlihat berlari kencang menuju ke atas bukit. Tampang mereka gagah-gagah. Pakaian yang mereka kenakan pun bagus-bagus dan seperti berseragam pula. Mereka mengenakan baju warna biru tua tangan panjang yang dilapis pula dengan baju rompi terbuat dari beludru hitam. Tiap sisi baju rompi ini dikelim benang perak. Celana yang mereka kenakan pun sama yaitu celana sontog dari jenis beludru dan sama diberi benang warna perak pada sisi-sisinya. Mereka pun sama menggunakan ikat kepala dari kain batik jenishihinggulan , corak batik khas Pajajaran.

 “Nampaknya mereka orang-orang kota. Mungkin datang dari kalangan istana. Tapi siapakah mereka?”
 Ginggi hanya sanggup bertanya dalam hatinya saja. Memang ada keinginan untuk membuntuti mereka. Namun pemuda itu teringat akan ucapan gurunya agar tak menggubris apa pun yang sekiranya dianggap aneh menurut pandangannya.
 “Mereka nampaknya akan menuju Puncak Gunung Cakrabuana. Apakah mereka bermaksud mengunjungi Ki Guru?” pikirnya lagi.
 Kembali rasa penasaran menggoda dirinya. Namun kembali dia pun menahan godaan ini karena teringat akan pesan gurunya... (bersambung)

<<    >>