Seperti apa yang diisyaratkan oleh Ki Darma, Ginggi harus menjalani sesuatu yang jadi persyaratan.
Tidak siang tidak malam, setiap hari Ginggi harus memperdalam ilmu kewiraan.
Tapi selama hidupnya, sebenarnya Ginggi belum pernah bertemu musuh. Namun, kian mendalami ilmu yang diberikan oleh Ki Darma, kian jelas pada dirinya, betapa sebenarnya ilmu-ilmu itu hanya diperuntukkan dalam menghadapi musuh. Itu adalah ilmu perkelahian.
Di beberapa bagian, jurus-jurus dan gerakan yang diberikan Ki Darma membuat hati Ginggi bergidik, sebab jurus-jurus itu disiapkan untuk membunuh lawan.
Pada suatu hari Ginggi diawasi Ki Darma untuk memainkan satu dua jurus perkelahian.
Di puncak Gunung Cakrabuana ini, suasana masih dipenuhi embun karena matahari belum memancarkan sinarnya. Namun di tengah tanah lapang berumput hijau, Ginggi dan Ki Darma sudah berdiri tegak.
Puncak Gunung Cakrabuana ini bila dilihat dari kakinya seperti kecil tak berarti. Namun bila berdiri di puncak, tempat tertinggi dari gunung itu sebetulnya merupakan sebuah lapangan yang cukup luas. Kalaulah di sini diselenggarakan latihan perang-perangan, maka dua pasukan besar dengan masing-masing kekuatan seratus prajurit dan saling berhadapan masih mampu ditampung di lapangan puncak gunung ini.
Sekarang, di pagi hari yang sunyi ini, lapangan begitu luas hanya dipakai oleh dua orang saja. Malah yang melakukan gerakan berlatih hanya Ginggi seorang saja, sementara itu Ki Darma sendiri hanya bertindak sebagai pengamat belaka.
Kalau pun ada “orang” ketiga, itu pun hanyalahbebegig saja, yaitu bentuk orang-orangan terbuat dari susunan jerami padi huma dan kepalanya terbuat dari buah kukuk.
Ginggi berdiri di atas tanah berumput dengan kuda-kuda yang amat aneh, yaitu berdiri hanya menggunakan satu kaki kanan saja. Agak doyong ke depan sementara lutut agak sedikit melipat dan ujung telapak kakinya berjingkat. Kedua tangannya bersilang di depan dada. Tangan kanan terkepal keras dan tangan kiri nampak meluruskan dua jari-jari. Sepasang jari-jari ini tepat membelah muka di bagian hidung.
Ginggi menahan napas, memusatkan pikiran dan segera mencoba mengalirkan tenaga dalamnya ke kaki kanan. Manakala terdengar bentakan keras dari mulut Ki Darma, Ginggi pun segera meniru membentak keras. Suaranya melengking tapi akan menyakitkan telinga bila di sana kebetulan ada yang mendengarnya. Namun belum juga usai suara bentakannya, Ginggi menjejak panggung dengan kerasnya. Kaki kanan yang tadi agak doyong serentak bergerak bagaikan per dan badannya melontar ke depan. Secara kilat tubuh pemuda itu meluncur bagaikan anak-panah hendak menancap di tubuh orang-orangan.
Dan manakala tubuh Ginggi tepat berada di atas orang-orangan, kedudukannya nampak terbalik, kepala di bawah kaki di atas. Ginggi melakukan gerakan salto. Namun itulah gerakan serangan paling utuh. Tangan kanan yang tadi terkepal serentak dibuka lebar-lebar dan didorong ke depan mengarah wajah orang-orangan.
Itu adalah gerakan serangan tamparan. Tapi tangan mengembang itu tidak dilanjutkan untuk melakukan tamparan namun untuk menghalangi batas pandangan mata musuh. Serangan sebenarnya yang akan dilakukan adalah melalui tangan kiri. Dua jari tangan yang tajam dan lurus, secara ganas “menerobos” ubun-ubun orang-orangan itu. Crap! Buah kukuk tertembus jari.
Secara cepat, jari tangan kiri segera ditarik dan kini giliran tangan kanan ganti menyerang. Telapak tangan itu terbuka lebar dan “menepuk” jidat buah kukuk. Prak, “kepala musuh” pecah berantakan. Tubuh Ginggi jumpalitan beberapa kali untuk kemudian berdiri tegak tiga depa jauhnya. Namun begitu kaki menjejak tanah, tubuh Ginggi menggigil seperti terserang demam.
“Ada apa?” Ki Darma kaget.
“Ganas! Ganas!” pekik Ginggi.
“Apanya yang ganas?”
“Serangan itu. Gerakan itu amat mematikan. Ganas dan tak manusiawi!” kutuk Ginggi lagi.
Ki Darma menghela napas dibuatnya.
“Memang begitulah …”
“Tapi mengapa, Aki bilang orang Pajajaran terkenal berbudi halus. Kok sanggup menciptakan ilmu ganas untuk membunuh orang?”
Lagi-lagi Ki Darma menghela napas panjang.
“Yang penting bagaimana kita memperlakukannya. Ilmu bela diri di mana pun memang ganas sebab dibuat untuk membunuh lawan. Ilmu bela diri Pajajaran selalu mencari urat kematian dari mulai ubun-ubun hingga ujung kaki. Namun apakah mentang-mentang punya ilmu, maka setiap saat kita akan membunuhi orang? Kita pun punya pisau pangot tidak selalu digunakan untuk menorehi kayu. Ilmu kedigjayaan musti engkau miliki bukan untuk mencari-cari lawan namun untuk menjauhi lawan. Kalau engkau diserang lawan, cepatlah berkelit. Kalau tak bisa berkelit, menghindarlah. Kalau tak bisa menghindar, larilah dengan cepat. Tapi kalau masih dikejar dan terpepet, lawanlah dia. Maka di sanalah ilmumu kau gunakan …” tutur Ki Darma panjang-lebar.
Namun Ginggi masih tetap terpengaruhi oleh hasil serangannya tadi.
“Itulah kelemahanmu, Ginggi. Satu saat kelemahan ini akan membahayakan dirimu,” kata Ki Darma.
Ginggi tercenung. Ucapan gurunya ini telah beberapa kali dikemukakan. Dan kebenaran kata-kata itu pernah terjadi.
Suatu saat Ginggi ditugaskan berburu menjangan untuk persediaan makanan.
Di lereng Gunung Cakrabuana yang berhutan lebat banyak didapat bermacam-macam binatang seperti kelinci, menjangan namun juga ada meong congkok, macan tutul dan harimau.
Ketika anak muda itu hendak menangkap seekor menjangan, banyak hambatan menahan dirinya, yaitu perasaannya selalu tak enak. Menjangan itu tak berdosa, mengapa harus dibunuh. Menjangan adalah binatang yang lugu. Dia tak merugikan makhluk lainnya. Tidak pula sanggup membunuh binatang sekecil apa pun. Jadi, mengapa sekarang harus dibunuh?
“Tak selamanya membunuh disebut jahat,” ujar gurunya suatu ketika. “Harimau membunuh bukanlah sebuah kejahatan sebab dia perlu makan. Dia pun tidak serakah sebab bilamana rasa laparnya sudah hilang dia tak membunuh lagi,” tutur gurunya lagi. “Lagi pula, harimau bukanlah binatang usil. Kalau dia tak diganggu maka dia tak akan mengganggu. Setiap akan bertemu manusia, harimau selalu menghindar, kecuali kalau kepentingannya akan diganggu dan dirinya merasa ada dalam bahaya. Berburu menjangan bukan kejahatan sebab kita butuh makan. Karena di dalam hutan ada menjangan dan dagingnya menyehatkan untuk jadi makanan, maka menjangan diburu,” lanjut Ki Darma lagi.
Ginggi mengintip seekor menjangan. Menjangan itu masih muda. Kalaulah dia manusa, mungkin seusia dirinya. Atau barangkali belum pantas untuk dilepas sendiri oleh induknya.
Tapi Ginggi tak tahu mengapa menjangan itu malah berkeliaran sendiri, sebab dengan begitu bakal ada ancaman terhadap nyawanya.
Semula Ginggi akan menimpuk kepala menjangan muda itu dengan batu. Namun karena rasa kasihan, niat itu diurungkannya.
“Dia akan kutangkap hidup-hidup saja dengan menggunakan ilmuSalimpet Haseup ,” pikir Ginggi. Ini adalah sebuah ilmu untuk menyeruak di tengah-tengah belukar namun tanpa menimbulkan bunyi keresekan.
Namun belum lagi dia bertindak, dari arah sana ada bunyi keresekan amat halus. Hanya karena pemuda itu pandai menggunakan ilmuHiliwir Sumping , sejenis ilmu untuk mendengar suara dari jarak jauh, maka suara keresekan itu terdengar nyata. Hati Ginggi berdebar.
“Harimau …” bisiknya perlahan.
Dan benar saja, ada tubuh besar berbulu kuning dengan polet garis-garis hitam menerjang ke arah tubuh menjangan bagaikan kilat.
Ginggi harus berani adu cepat, sebab bila terlambat sedikit saja, maka tubuh menjangan muda itu akan jadi santapan koyakan kuku dan taring-taring tajam.
Ginggi menotolkan ujung jari kakinya kemudian tubuhnya melesat mengarah tubuh Si Raja Hutan itu.
Harimau itu perhatiannya tengah tercurah kepada buruannya, sehingga manakala terjangan kaki Ginggi menyerang, dia tak bisa menghindar.
Dukk!
Terdengar suara gerengan keras membelah dada.
Harimau itu pasti kesakitan. Namun Ginggi sadar, sebenarnya kalaulah serangan kakinya tak dikurangi sampai dua pertiganya, maka binatang besar itu pasti akan terluka amat hebat dan barangkali akan tewas. Tapi Ginggi tak mau membunuh binatang itu. Hanya saja akibat dari rasa kasihan inilah maka sebagai imbalannya ada serbuan amat ganas dari Si Raja Hutan. Sang Harimau kini meninggalkan buruannya dan segera mengalihkan serangannya kepada pemuda itu.
Dengan serta-merta tubuh sebesar kerbau itu melesat terbang mengarah tubuh Ginggi. Pemuda itu menghindar ke bawah perut harimau. Maka seandainya akan menamatkan riwayat binatang itu, Ginggi hanya perlu menusuknya dengan ujung jarinya ke arah perut harimau dan binatang itu niscaya akan tersobek perutnya. Namun Ginggi tak melakukan hal itu. Yang dia lakukan hanyalah merapatkan tubuhnya di atas tanah dan perut binatang buas itu bergelisir ke punggung pemuda itu.
Untuk kedua kalinya harimau menerjang keras dengan cakarnya yang tajam. Kembali Ginggi melengos mundur. Namun tak dinyana, binatang itu menotolkan sebelah kakinya ke atas tanah sehingga tubuhnya bisa “terbang” kembali menghampiri pemuda itu. Ginggi tak menyangka akan hal ini. Hanya saja secara tiba-tiba jari beruncing dari kaki depan harimau sudah bergerak cepat hendak mencarut wajahnya.
“Auuuppp!!!” tubuh Ginggi jumpalitan ke belakang. Cakar itu hanya seujung kuku saja jaraknya dari pipi pemuda itu.
Ketika Ginggi masih jumpalitan, harimau kembali menerjang dengan cakarnya. Kali ini Ginggi tak tinggal diam. Ketika kaki depan hendak menampar kepalanya, secepat kilat tangan Ginggi mendahului menampar.
Plak! Tubuh sang harimau terlontar beberapa depa ke belakang dan jatuh bergulingan.
Untuk sejenak harimau itu duduk terpana melihat Ginggi dengan corong matanya yang tajam. Kemudian terdengar suara gerengan tajam memekakkan telinga.
Ginggi telah mempersiapkan kuda-kudanya untuk menunggu serangan susulan dari binatang itu. Namun setelah ditunggu agak lama, ternyata harimau berbalik arah dan melarikan diri dengan kaki agak pincang.
Tinggallah Ginggi berdiri mematung. Menjangan telah pergi, demikian pun sang harimau. Apakah ini sebuah kesuksesan atau keteledoran, Ginggi tak bisa memastikannya. Hanya saja ketika kembali pulang dan melaporkan kejadian ini kepada gurunya, Ki Darma hanya tersenyum-simpul saja.
“Saya ternyata tak berhasil menangkap menjangan. Ki Guru,” tutur Ginggi.
“Yang engkau tak pernah berhasil adalah melawan kelemahan batinmu, anak muda …” jawab gurunya.
Dan Ginggi diam tak menjawab.