Cerpen Stefanny Irawan
Mataku menatap biru di bawah situ. Laut. Laut yang mencium langit. Ataukah langit yang mencium laut? Tidak ada yang tahu. Aku hanya mendapati ketika mereka tengah berciuman. Biru. Laut biru berombak seakan seluruh tubuhnya ingin menggapai dan menyentuh. Langit dengan biru yang hampir sama seakan hendak jatuh dan menyerahkan diri ke dalam pelukan laut di bawah situ. Mereka serasa satu. Biru. Tidakkah kamu merasa ini haru?
Mataku biru. Apakah kamu merasa haru?
"Matamu indah." Kamu berkata pendek.
"Di bawah situ", aku menunjuk, "indah ya?" Kamu mengangguk.
"Biru." Telunjukku kusimpan kembali.
"Tapi kapal layar itu membawa putih selebar layarnya." Giliranmu menunjuk.
Hening. Angin memainkan pucuk-pucuk rambut kami. Jalanan aspal menurun ini sepi. Tembok bata pembatas di kiri dan kanan jalan buntu ini tidak menyimpan suara di balik sana. Hanya aku dan kamu yang cukup melankolis untuk duduk di sini, melihat ke bawah sana, dan mengiris sunyi dengan bertukar beberapa baris kata. Perahu layar bergerak semakin ke tengah.
"Tapi langit dan laut tetap satu kan? Biru?"
Kamu mengangguk. "Kukira begitu."
Aku mendengar hatiku menghembus napas lega. Mungkin hidungku juga. Entahlah. Laut biru, langit biru. Dua biru yang sama serasa satu. Tidak ada awan. Mungkin sedang tidur di rumah.
"Matamu indah." Kamu berucap lagi.
Aku menoleh. "Mataku biru."
"Dan kamu cantik."
Kita tak lagi memandang ke bawah.
"Terima kasih." Ragu, tapi lalu aku mencium pipimu.
"Matamu indah?dan biru?dan cantik." Ragu, namun kemudian kamu mengecup bibirku. Tepat saat itu keraguan mengepak kopernya dan pergi. Tinggal aku dan kamu, dengan bibir kita yang saling mengunci. Kapal layar yang mengusung putih tak tampak lagi oleh sudut mataku. Kurasa tidak apa-apa. Bukankah kamu tadi berkata langit dan laut akan tetap biru? Dan satu?
- - -
Asap rokokmu bermain-main di udara, dan wajahmu seakan mencoba berlindung di baliknya. Aku memandangmu lekat. Kita duduk berhadapan. Kamu memejamkan mata, seolah topeng asapmu percuma. Matamu membuka, dan saat itu ada makna di sana yang berkata, ?tolonglah, jangan bicarakan ini.?
Aku menunduk, memandang jalan aspal alas kita duduk. Saat aku kembali memandangmu, agaknya ada satu ?mengapa? yang meluncur keluar dari situ sebab matamu memandang ke arah atas melewati kepalaku. Dan dari situ aku mendapati hatimu berkata, ?ah, ayolah..? Satu gumpal udara jatuh terguling dari lubang hidungku. Tapi mata biruku kali ini terlalu keras kepala untuk berlalu.
"Jangan pandangi aku begitu. Ini demi ayahku." Akhirnya sunyi teriris kembali.
"Sebegitu jauh?"
"Harus. Celah ini terlalu besar, terlalu riskan."
Aku diam.
"Julia bukan siapa-siapa. Hanya saja, kita bukan pasangan yang cocok di mata mereka. Membuatku tidak boleh terlihat terlalu bersamamu. Termasuk saat ini."
Kamu bangkit. Aku melihat asap rokok melayang melewati punggungmu yang menjauh. Aku juga melihat laut dan langit. Kali ini langit sedikit kehilangan warna birunya. Langit dengan biru pucat, siapakah yang mengagetkanmu? Adakah kau dapati bibir laut berubah dalam setahun berlalu sejak pertama kali kau berciuman dan bersetubuh? Ataukah telah kau rasakan putih layar kapal itu?
- - -
Pagi yang enggan. Tujuh belas menit aku berada di sini. Angin musim dingin menyelusup masuk pori-poriku bagai hantu. Laut di bawah situ telah berganti baju: abu-abu...dan sedikit bergemuruh. Mataku tetap biru, tidak abu-abu. Mungkin hatiku, entahlah, yang jelas dindingnya menggemakan satu gemuruh yang resah dan sayu. Kamu, di manakah?
Kamu tidak pernah terlambat. Kamu ada seperti waktu itu sendiri, ada dengan begitu pasti. Tak kau biarkan satu detik pun waktu kita pergi begitu saja, seperti iblis yang katanya tak akan menyia-nyiakan satu jiwa murni pun di dunia, atau Tuhan yang orang bilang selalu datang pada orang yang hatinya remuk patah. Kamu pernah menantiku lama sekali di bawah terik mentari, sesuatu yang meyakinkanku akan keberadaanmu pun ketika jalan-jalan dibungkus salju putih. Kepastianmu membuatku merasa berharga dan dicintai. Tapi, entah bagaimana, saat ini waktu membuatku merasa sia-sia. Aku duduk di aspal dan mendekap lutut. Oh jadilah kau udara, yang meski dingin, hadir dan menciumi sekujurku penuh. Gemuruh di dalam menaik, mencoba menggapaimu, memekakkan hatiku (yang mungkin abu-abu). Adakah kau dengar? Aku menunduk, seakan merasa ditampar.
"Menunggu kekasihmu?" Suara itu asing, melecehkan, menyerang. Tersentak aku menatap ke depan. Kosong. Cepat aku menoleh ke kanan. Di atas tembok pembatas berdiri seseorang bertubuh gempal. Tak pernah kulihat wajah itu sebelumnya. "Siapa kamu?" Aku mendengar suaraku sendiri serasa asing, sarat kegelisahan ditambah satu ons rasa takut yang kecut.
"Kamu tidak mengenal kami, o Juliet!" Ujung bibirnya menaik, membentuk segaris senyum menghina. Tapi sebentar...kami? Aku memutar kepalaku ke arah yang berlawanan. Benar sekali, ada empat orang lagi berdiri di tembok pembatas sebelah kiri. Wajah-wajah yang sama menghinanya terpasang di atas tubuh-tubuh yang sama gempalnya. Ada apa ini? "Kamu tidak mengenal kami, tapi kamu akan mengenal dengan baik tangan dan kaki kami, Juliet manis, meski mungkin tak selembut perlakuan Romeo-mu!" Tepat ketika laki-laki itu ? satu-satunya yang bersuara di antara mereka ? menyelesaikan kalimatnya, instingku melecut, menyentak otot dan syarafku untuk melesat lari menuruni jalanan aspal ini ke arah laut. Ada yang salah, teramat salah. Tak kupikirkan lagi bagaimana kakiku yang kecil ini akan membawaku lolos dari orang-orang itu. Langkah-langkah berat dan cepat menyusulku, penuh geram, penuh nafsu. Laut di bawah abu-abu dan bergemuruh. Denyut jantungku bertabuhan di telingaku. Terlintas sedetik di pikiranku: di manakah kamu?
Aku berlari secepat mungkin, bahkan inilah lari paling cepat yang pernah kulakukan selama hidup, sepanjang otakku bisa mengingat. Tapi kedua kaki kurusku ini memang tidak dibuat untuk berlari secepat ini, seperti halnya sengat diciptakan pada tubuh lebah dan bukan pada ngengat. Jalan yang menurun, kaki kecilku, langkah-langkah penuh nafsu orang-orang itu, dan rasa panik yang meruap dari segenap pori-poriku membuat segalanya menjadi semakin salah; dan aku menyadari itu. Aku jatuh terguling-guling ditingkahi derap langkah yang semakin mendekat.
Sepasang tangan bersamaan berhasil menangkapku. Satu tangan lagi menyusul, menjambak dan menarik kepalaku ke belakang. Maka resmilah, segalanya akan berubah menjadi salah yang parah.
"Mau ke mana, manis? Tidak usah buru-buru".
"Ck,ck,ck....bagaimana kalau kami saja yang menjadi Romeo-mu?".
"Kita apakan dia? Siksa? Bunuh?"
"Telanjangi!"
"Telanjangi lalu bunuh? Hahahaha...."
"Terlalu mudah, senang-senang sedikit tidak ada salahnya!"
Suara-suara mereka mengepungku. Laut mengirimkan suara gemuruh, meronta-ronta, seperti aku. Tapi tangan-tangan itu terlalu kuat. Untuk kesekian kalinya tamparan dan kepalan mereka menyapa kulit wajahku. Kurasakan bibir dan hidungku berdarah. Pelipisku robek, darah mengaburkan pandangan. Satu teriakan terlepas dari mulutku ketika sebuah kaki menendang ulu hatiku keras-keras. Untuk sejenak udara tak hanya diisi gemuruh ombak, mengagetkan seekor burung gagak. Kesadaran beringsut ke ambang ada dan tidak. Di manakah kamu, kekasihku?
"Eh..eh, tunggu dulu, jangan pingsan dulu, manisku. Kita belum bersenang-senang!"
Kurasakan tangan-tangan melucuti pakaianku. Rontaku seakan tikus di cengkeraman cakar rajawali. Tenagaku, mengapa engkau meninggalkanku? Kucoba menggetarkan udara dengan teriakanku, dan juga hati, berharap entah ditolong atau dikasihani (sudah tak ada bedanya lagi). Tapi sebuah tangan segera membekap dan membuatnya tak berarti. "Belum saatnya kau buka mulutmu itu, Juliet!" bisiknya di samping telingaku. Mereka membuatku berlutut.
"Dan sekarang..." ujar seseorang yang berdiri di depanku. Tak jelas lagi bagaimana wajahnya. Pengelihatan dan kesadaran seakan berlomba melewati pintu keluar di otakku. Di manakah, di manakah kamu? "Haha..ya, buka celanamu!" Suara-suara memenuhi udara; tawa dan sorak, seakan sebuah pesta dengan aku sebagai korban bakarannya. Tangan itu membuka bekapannya atas mulutku. "Sekarang, Juliet, bukalah mulutmu." Kurasakan sesuatu menyentuh bibirku. Aku tersentak dan mundur. Laut bergemuruh. "Ayolah buka! Ada apa? Tidak mungkin baru pertama kalinya. Lakukanlah seperti kau membuat Romeo-mu bahagia." Aku berkeras. "Buka!" Sepasang tangan menyentakkan kepalaku ke belakang. Tidak akan, desisku. "Brengsek! Kau anggap kelamin Romeo-mu lebih baik dari punyaku, begitu?" Laki-laki itu menghajar wajah dan tubuhku. Aku tak lagi sanggup mengaduh. Suaraku telah mati terlebih dahulu. Kurasakan sekujur tubuhku ngilu. Pelipis robek semakin lebar, pandangan semakin nanar.
Aku tak tahu berapa lama aku di situ, tengkurap di aspal, telanjang, dan mungkin berjarak sehasta saja dari Yang Kekal. Agaknya kesadaran dan penglihatan bersamaan mencapai pintu keluar, meninggalkan gema denyut jantung seorang diri; sedih. Perlahan aku membuka mata, dan kamu ada di sana. Kudapati kamu di langit putih pucat, memandangku sekilas lalu membuang muka. Ternyata aku terperdaya. Laut biru dan langit biru tidak akan bersatu, tidak pernah bersatu. Mereka hanya bertemu. Langit biru dan laut biru itu haru, karena mereka akan berpisah ketika langit putih pucat dan laut abu-abu. Dan kapal layar itu...membawa wajah yang berganti-ganti di layarnya: ayahmu, Julia, orang-orang itu, semuanya. Kusadari itu ketika sebuah perkataan menggedor gendang telingaku tepat ketika pengelihatan dan kesadaran hendak terjerembab jatuh: wahai homo menjijikkan, ternistakanlah kaummu! Aku menutup mataku. Mataku biru. Dan basahnya haru.***
EH 306, 28 Jun. 03, 14:19
Dimuat di Koran Tempo
08/10/2003