Selasa, 19 Oktober 2010

Perempuan Shalat di Tengah Malam

Cerpen M. Anshor Sja'roni

Perempuan yang selalu shalat di tengah Kila. Sementara itu, suaminya lebih suka memanggilnya Laila.
Suaminya merasa beruntung telah memperistri Akila. Pada waktu itu, banyak orang tua merasa iri dan para pemuda merasa kalah demi melihat ia menyunting Akila. Namun, para gadis merasa gembira begitu Akila menikah. "Syukurlah kau cepat menikah, Lala. Dengan begitu, kami segera menyusulmu. Sebab, para pemuda tak lagi bisa menggodamu. Tak ada lagi penghalang bagi mereka melirik kita." Lantas, mereka tertawa gembira.
Begitulah, suaminya teramat sayang kepada Akila. Akila yang cantik menawan dari keturunan orang baik-baik.
Sebenarnya, suaminya datang bukan karena cinta.
Dia datang karena hendak belajar agama kepada abah Akila. Dia pun menikahi Akila karena tunduk dan patuh pada abah Akila.
"Wahai, anak muda, sudah waktunya engkau berkeluarga," begitulah kata abah Akila suatu ketika. "Jika engkau sudah mampu, menikahlah demi menjaga kehormatanmu. Jika engkau takut berbuat zina, sementara engkau belum mau menikah, berpuasalah."
Rupanya, karena taat dan patuh, lelaki itu mau menikahi Akila.
Lalu, dipanggillah Akila. "Sudah saatnya Abah menebus kesalahan Abah, Kila," kata abahnya sambil berurai air mata, meminta Akila bersedia menikah dengan lelaki pilihan abahnya dan melupakan aib yang selama ini ditanggungnya.
Namun, aib itulah yang selalu membangunkan Akila setiap malam. Saat malam sempurna dalam pekatnya, saat suaminya lelap dalam mimpi indahnya, saat itulah Akila selalu teringat akan apa yang terjadi kurang lebih lima tahun yang lalu sebelum ia menikah dengan suaminya. Itulah yang merisaukan hatinya. Akan tetapi, ia simpan semua itu dari pengetahuan suaminya.
Selama ini, ia diam. Paling tidak, sudah tiga tahun usia pernikahannya dan belum ada keberanian hati untuk bercerita kepada suaminya. Sebenarnya, mudah saja baginya untuk tidak menceritakan segalanya.
Bukankah selama ini suaminya tidak pernah menanyakan bagaimana ia menjalani hidup pada masa muda. Namun, ia merasa tindakan itu sebagai bentuk pengkhianatan kepada suaminya. Itulah yang menjadi beban hatinya.
Begitulah, Akila selalu shalat pada setiap tengah malam. Pada saat aib itu membangunkannya. Pada saat malam sempurna dalam pekatnya, saat suaminya lelap dalam mimpi indahnya. Akila sengaja tidak membangunkan suaminya. Ia hanya memandangi wajah suaminya. "Maafkan aku, suamiku. Maafkan aku. Kelak engkau akan tahu siapa aku," batinnya. Lalu, dengan pelan, Akila memasang mukena dan menggelar sajadah.
Sekarang, dengarlah takbir Akila. Dengarlah dengan saksama. Ia takbir dengan khusyuk, dengan bacaan yang begitu pelan, seakan-akan ia sedang berbisik. Napasnya mengalun tenang, seperti alunan nada yang mampu melelapkan bayi. Bayi yang selalu ia rindukan tangisannya. Bayi yang pernah ia tidurkan dengan bisikan dan dengusan napasnya yang melenakan meskipun hanya sekejap. Entah sebab apa, setelah tangisan pertamanya membahana dalam pelukannya, tiba-tiba bayi itu seperti tersedak dan tak mampu melanjutkan hidupnya. Bayi itu mati dalam pelukannya.
Takbirnya menggema pelan, matanya sedikit berkunang-kunang. Lama ia berdiri menunggu kunangkunang di matanya menghilang, seperti ia pernah menunggu bertahun-tahun laki-laki yang menanamkan benih di dalam rahimnya yang menghilang seperti ditelan bumi. Laki-laki itu pernah berjanji untuk datang kembali agar dia bisa menebus dosa-dosanya. Hingga kini, laki-laki itu tidak pernah datang.
Ia pasrah. Pasrah sepasrah sujudnya kali ini. Ia tumpahkan sesak di dadanya dengan berjungkit sujud, sujud yang begitu dalam. Sajadahnya basah oleh air matanya. Air mata yang pernah ia tumpahkan untuk lakilaki yang menodainya. Sungguh, tak ada yang lebih mengoyak batin perempuan dalam rindu yang berubah menjadi dendam. Rindu dendam pada laki-laki yang meninggalkan jejak benih pada rahimnya.
Ia bersimpuh. Bersimpuh mohon ampun atas dosa tubuhnya, juga dosa orang-orang yang pernah disakitinya. Ia tetap bersimpuh sampai kedua lututnya terasa nyeri. Nyeri yang sama, yang pernah ia rasakan untuk pertama kali ketika menahan beban tubuh laki-laki yang menindihnya.
Ya, ia pasrah. Pasrah dalam sujud kedua yang begitu lama. Seperti ketika ia begitu lama tersesat. Tersesat dan pasrah begitu saja ketika laki-laki itu menyeretnya ke rerimbun semak di ujung sungai. Laki-laki itu datang begitu cepat, secepat petir yang menyambar benda apa pun yang menjulang. Termasuk dia yang namanya menjulang seantero desa sebagai anak seorang guru mengaji.
Kecantikan dan kemolekan tubuhnya, bahkan terkenal sampai ke desa-desa tetangga. Ia seperti magnet yang mampu menarik apa pun yang dekat dengannya.
Dan, magnet itu pun tersambar petir.
Laki-laki itu datang dari jauh. Tidak jelas asal-usulnya.
Ketika abah Akila menanyakan di mana ayah dan ibunya, laki-laki itu menjawab, "Saya tidak berayah dan tidak beribu, Ustaz. Saya datang untuk belajar mengaji." Abah Akila merasa laki-laki ini sebatang kara dan bisa membantunya mengurus langgar.
Laki-laki itu begitu rajin. Mulanya, laki-laki itu tidur di langgar. Tugas dia membersihkan langgar dan menyiapkan bangku-bangku untuk mengaji. Kemudian, lamalama dia tidur di dalam rumah atas perintah abah Akila.
"Saya hanya punya seorang anak. Ada kamar kosong di belakang dekat dapur. Sebetulnya bekas gudang, tapi coba kau bersihkan dan tidurlah di sana."
Abah Akila tidak menaruh curiga. Akila sendiri, sebagai anak yang taat kepada orang tua, tidak merasa keberatan. Namun, laki-laki itu membaca salah kebaikan abahnya. Sering kali Akila merasa laki-laki ini tidak baik perilakunya. Sering Akila memergoki laki-laki itu menghabiskan makanan di dapur, padahal ia tahu abahnya belum makan.
Akila juga merasa risih setiap ia keluar dari kamar mandi. Akila tahu laki-laki itu sering mencuri pandang ketika ia hanya memakai handuk untuk menutupi badan.
Dan, dia merasa laki-laki itu makin kurang ajar. Dengan lagak tidak sengaja, sering laki-laki itu menyenggolnya atau sengaja menabrakkan dirinya ketika ia berada di dapur untuk membantu uminya memasak. Lalu, datanglah bencana itu. Suatu sore menjelang Maghrib, ketika Akila menuju sungai untuk memanggil abahnya yang sedang mencari kayu bakar, laki-laki itu menyergapnya. Senja itu seperti jahanam dan laki-laki itu seperti binatang berbisa yang mematuki tubuhnya.
Akila, untuk pertama kalinya, ternoda.
Bencana itu datang berulang-ulang menimpa dia karena kebodohannya. Ia tidak berani bercerita kepada abah atau uminya. Laki-laki itu betul-betul pandai mengambil hati orang tuanya. Dan, tentu saja, ia pandai membujuk dan merayu Akila. Kalau Akila bercerita, tak bakal orang tuanya percaya. Sampai kemudian, semuanya tersingkap dengan sendirinya. Tubuhnya tak bisa menyembunyikan kebusukannya. Dan, laki-laki itu pun menghilang entah ke mana.
Tahu Akila hamil, umi hanya bisa mengelusnya sambil tak henti-hentinya menangis. "Mengapa engkau tak bicara kepada Umi atau Abah, Kila? Apakah kau juga menginginkannya?" Akila hanya bisa menangis dan menyesali perbuatannya. "Tidak, Umi. Saya bahkan membencinya. Tetapi, saya takut, Umi. Saya takut Abah marah."
Sekarang, tengoklah Akila. Ia mengakhiri shalatnya, lalu berdoa selepas salam. Dalam doanya, ia menginginkan kesejahteraan untuk abah dan uminya yang dengan penuh kasih sayang menolak membunuh janin dalam rahimnya. Demi kemaslahatan keluarga, orang tuanya menitipkan dia di rumah bibi yang ada di luar desa hingga melahirkan bayinya.
Dalam doanya malam itu, ia menginginkan bayinya yang kini bersemayam dengan damai di belakang rumah dekat langgar--tempat belajar mengaji anak-anak desa-kelak dapat memberinya syafaat meskipun bayi itu hasil hubungan yang terlaknat. Ia meyakinkan diri bahwa setiap bayi dilahirkan dalam kondisi suci. Bila bayi yang dilahirkan kemudian mati, ia akan menjelma menjadi bidadari yang bakal menolong dan melayaninya di dalam surga.
Begitulah, setiap selesai shalat di tengah malam, ia panjatkan doa yang begitu panjang dengan tangis penyesalan. Lima tahun nista ini ia simpan tanpa sepengetahuan suaminya. Dan, Akila selalu merasa perih ketika suaminya menghendakinya hamil. Setiap suaminya menginginkan itu, ia selalu merasa berada di rerimbunan semak di ujung sungai dan seketika itu setiap lubang pori-pori di dalam tubuhnya mengerut. Ia gagal membuka diri. Dadanya bertambah perih dan hatinya bertambah pedih ketika suaminya dengan sabar mau mengerti alasan-alasannya. Alasan-alasan yang ia karang ketika ia gagal berperan sebagai seorang istri.
Dengan perih di mata, Akila berdoa agar Allah selalu melimpahkan kebahagiaan dan keselamatan untuk suaminya yang dengan tulus mau menikahinya tanpa mempertanyakan latar belakang hidupnya.
Akila ingin suaminya mengetahui dirinya yang sebenarnya. Tidak dari orang lain, tetapi dari mendengar sendiri bisikan doanya dan rintihan munajatnya yang selalu ia panjatkan setiap shalat di tengah malam. Akila pasrah. Pasrah pada apa pun yang akan diputuskan oleh suaminya. Kini, Akila merasa hatinya dipenuhi kemesraan. Kemesraan bermunajat dengan Tuhannya.
Kemesraan bercinta dengan Penciptanya. Lamat-lamat tumbuh dalam hatinya sebuah kesadaran bahwa ampunan dan kasih sayang Allah jauh lebih besar daripada dosa yang pernah ia lakukan. ***
 
Dimuat di Republika 
10/10/2010