Selasa, 19 Oktober 2010

Perempuan Masa Lalu dan Lelaki Beruntung

Cerpen Isbedy Stiawan ZS


Lelaki itu beruntung, desisku. Kulihat lelaki yang menimang bayi berdiri di sebelahmu yang juga menggendong bayi. Kukira usia bayi itu sekitar tiga bulan. Ketika kau tunjukkan fotomu bersama keluarga dari dalam tas jinjing.

Kau tersenyum. Seperti ingin membenarkan ucapanku. Bibirmu bergerak. Aku meyakini sekiranya kau berkata, kau akan mengatakan: "Benar, dia memang beruntung menikahiku. Padahal sebelumnya, dengan istrinya yang ditinggalkannya di kampung kelahirannya, tak juga membuahkan anak. Dia kawin sudah tujuh tahun, tapi belum dikarunia anak."

Hanya saja, kau tak juga berkata. Kau hanya memandangiku, seperti hendak menelusuri seluruh tubuhku lagi, seperti masa-masa dulu ketika kita jelajahi kota dan kamar hotel bersama: dari kota ini, Jakarta, lalu Padang. Berpisah begitu saja setelah itu. Tak ada kabar, bahkan sekata pun melalui pesan pendek.

Kemudian aku mendapat kabar--mulanya kusangka hanya kabar burung--bahwa kau mulai menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah beristri. Kabar itu juga menjelaskan, lelaki itu kebetulan sedang bersekolah lagi di kotamu. Bertemu. Tanpa lama-lama, seperti juga kau denganku sebelumnya, lalu menuju hotel. Menginap. Tetapi dengan lelaki dari seberang pulau ini, menurut kabar, kau begitu serius. Bukan cuma pertemuan di kamar, melainkan sudah merasuk hati.

Begitulah kabar itu begitu cepat sampai. Teman-teman yang pernah tahu hubungan kita. Maksudku tahu kalau kita pernah bersama pada saat ada suatu acara di sebuah kota yang tak pernah ada dalam peta hidupmu, lalu terus-terusan mengabari tentang hubunganmu dengan lelaki yang kini berdiri berdampingan denganmu: sama menimang bayi.

Kau masih memanadangiku. Entah apa yang kau rasa, saat melihatku seperti itu. Bibirmu masih bergerak, tepatnya bergetar. Tetapi sampai sejauh ini belum juga bersuara. Tentu suaramu masih semerdu dulu, hingga membuat banyak lelaki tergoda: ingin memburumuj. Ingin lebih jauh membaca keperempuanmu. Ah, suatu ketika di tahun yang hangat, tanganku pernah membelai rfambutmu yang berombak. Aku juga pernah mendaratkan bibirku di lautan bibirmu yang bagai tepi pantai itu. Meski hanya beberapa bulan. Namun amatlah berkesan.

Sebab kota memisahkan. Sebab waktu selalu menunda, pertemuan pun tak lagi berulang. Padahal aku ingin sekali mengiulang, layaknya de ja vu. Mungkinkah kesempatan datang dua kali, tiga kali, dan seterusnya? Aku menggeleng saat itu. Dan kau menepis.

Aku lebih yakin bahwa kita tak akan pernah bertemu lagi. Aku tekadkan dalm hati, kau hanya sahabat. Itu jika kau tak menginginkan bila kau pantasnya sebagai adikku. Ah, kau terlalu muda untuk kukatakan adik. Lalu apa? Aku tak sanggup mengatakan itu.

Keraguanku terbukti. Kita memang tak lagi bertemu, setelah pertemuan terakhir di Jakarta. Pada suatu acara, entah aku lupa, kita sama-sama mendatanginya. Kujemput kau di stasiun, lalu kita menuju sbeuah hotel. Keesokan paginya kita ke sana dengan taksi. Selesai acara kita rampungkan pertemuan dengan satu pertempuran cinta semalam lagi.

Setelah itu, ya seperti kukatakan tadi, kita tak bertemu lagi. Surat-surat elektronik hilang begitu saja. Aku juga sudah lupa amalat emailmu. Barangkali juga kau? Kau tersenyum, kemudian menggeleng.

"Kupikir kau sudah dapat perempuan lain. Aku pun harus mundur," katamu pelan.

Lalu kau ceritakan siapa lelaki yang ada dalam foto bersamamu. Sama-sama menggendong bayi berusia tiga bulan itu. Kau menhyebut nama suamimu. Aku malas mengingatnya. Kau bertemu di kampus saat sama-sama mengambil S2. Lalu saling curi pan dang, seperti kau mencuri pandangku kala kali pertama kita bertemu. Kemudian janji untuk suatu pertemuan. Jalan-jalan di pusat keramaian. Menyusuri jalan-jalan yang mungkin dulu pernah kaulintasi dengan lelaki lain. Setelah lelah, kau pun tak keberatan saat digandeng memasuki sebuah hotel. Menginap.

Tidak seperti dengan para lelaki lain, kali ini kau merasakan hal lain dan baru. Getar pertemuan mengalir hingga ke lubuk hatimu. Menancap sebagai tonggak. Membangun rumah, dengan jendela dan pintu yang menghadap keramaian. Seperti kaabar yang kuterima: kalian menikah di sebuah kota di Kalimantan. Barangkali kota kelahiranmu?

Kau tak banyak bicara. Hanya memandangiku. Bahkan kau juga tak bercerita, kenapa tiba-tiba kau berkonjung ke kotaku. Meski kau mengaku rindu pada sambal terasi dicampur tempoyak. Tetapi peduli apa aku dengan alasanmu? Sebab aku pun tak peduli kenapa aku mau menemuimu, kini sudah menjadi isteri orang, tatkala kau meneleponku ingin bertemu?

Langkahku juga ringan saat mengarahkan tuju ke Central Plaza ini. Menaiki lift lalu mencarimu yang sudah menempati kursi di sudut Kafe Solaria ini. Kulihat kau masih seperti kita bertemu tiga tahun lalu. Tanganmu yang mungiil masih menjepit rokok filter menthol kesukaanmu. Ah, rupanya kau masih tak bisa meninggalkan nikotin itu.

Kuambil kursi di depanmu. Saat ingin merebahkan pantatku ke kursi, tanganmu segera menarikku agar duduk di sebelahmu. Aku tak bisa menolak. Lalu duduk di sebelahmu. Rupanya sifatmu masih juga belum berubah. Ingin selalu bersebalahan dengan lelaki meski dia bukan kekasihmu, kala berada di kafe atau rumah makan. Ingin terlihat mesra? Ingin dilihat orang harmonis?

Kau memang romantis. Itulah yang aku suka darimu. Sehingga wajar kalau aku cepat tertarik padamu. Meski kau tak secantik Luna Maya atau semanis-imut Yuni Shara. Namun kau punya goda. Itulah yang membuatku, setidaknya, terpukau.


***

Memandangi wajahmu yang kini di sebelahku, terbayang jalan-jalan yang pernah kita lalui. Mengamati bibirmu yang kecil seperti tepi pantai yang amat disukai anak-anak, terkenang ketika aku mengunjungimu. Itu dulu. Sebuah masa lalu.

Suatu waktu yang sejeda singgah. Sebagai pengembara, hanya untuk mereguk secawan air di saat dahaga. Setelah itu kita pun kembali mengembara, melupakan bekas-bekas langkah atau gubuk bagi persinggahan. Mungkin saja di lain tempat atau persimpangan, pengembara akan lupa bahwa ia pernah berjumpa. Bagi petualang tiada de javu, kendati rindu sekali suatu yang sudah terjadi bisa berulang. Terutama yang mengesankan.

Kau memang mengesankan. Semua lelaki ingin selalu membacamu, mengeja setiap rahasia perempuanmu. Begitukah? Suatu saat kau bertanya balik, berharap pujian seperti itu selalu diarahkan. Seraya menguarkan senyum, lalu kau mengulum bibirku. Layaknya pelancar, kau pun berselancar di laut bibirku. Aku jadi gelombang, mengombankkan selancarmu.

Ya. Itu semua terjadi dulu. Kini, kau pun adalah masa lalu. Sebab kau datang dengan selembar foto: kau meniang bayi berusia tiga bulan, dan lelaki itu menggendong seorang bayi juga dengan usia yang sama. Bayi kembar. Anugerah dari buah perkawinanmu dengan lelaki yang tak kau sebutkan namanya, dan aku tak menghendaki untuk tahu pula. Meskipun aku tahu lelaki itu. Dia sangat beruntung.

Sudahlah, itu semua masa lalu. Hapus kenangan-kenangan itu. Ingatan tentang jalan, kamar yang kita lalui dengan keriangan dan erangan, tak akan lagi terulang. Aku akan menguburnya. Kau akan menenggelamkan ke laut dalam. Pandangi saja selembar foto yang di sana ada kau, lelaki itu, dan bayi kembarmu.

Apalagi kedatanganmu ke kota ini, kota kelahiranku dan bagiku menetap, sekadar mengisi liburan. Sementara lelakimu sedang tugas belajar di luar negeri selama enam bulan. Karena itu kau ingin memanfaatkan bertemu denganku? Kau tersenyum, meski kali ini tanpa anggukan kepala. Kedipan matamu itu, ah, bagai mata elang yang siap menerkam. Aku faham arti kedipan itu. Kedipan masa lalu.

***

Lelaki itu amat beruntung. Kembali aku memuji. Pujian yang bukan basa-basi. Karena menikahimu, dia kini benar-benar menjadi lelaki. Bahkan, langsung mendapat dua. Bayi kembar perempuan-lelaki yang manis dan ganteng. Lalu lelaki mana yang tak akan merasa beruntung? Apalagi sebelumnya, dari perkawinannya yang sudah mencapai tujuh tahun, tak juga dikarunia anak? Lelaki mana pun tak akan mampu bersabar hanya untuk menunggu yang tak pasti. Tak ingin hanya menunggu godot. Sebuah pengharapan sia-sia. Tak pernah akan datang...

Kau seperti mengiyakan pikiranku. Hanya itu tak juga terucapkan. Sudah beberapa menit berlalu, baru sedikit kau bersuara. Selebihnya hanya tersenyum atau mengerdipkan matamu. Kupastikan matamu memang indah, seperti pernah kuibaratkan, bagai mata elang nan nyalang sebelum menerkam mangsa. Sebab setiap lelaki yang kau tatap, niscaya akan terperangkap. Salah satunya aku. Meski terperangkap olehmu adalah kemerdekaan untuk menikmatimu.

Tetapi, katamu, lelaki ini adalah yang terakhir untuk saat ini. Entah bila lelaki itu melukai hatimu, kau akan berpikir lain. Meski lelaki terakhir, menurutmu, tak ada salahnya jika kau ingin menemui kembali orang-orang yang pernah singgah dalam hidupmu suatu saat---atau tepatnya mereka yang pernah terperangkap. Bukan untuk mengulang. Sekadar mengenang.

Apakah mengenang tanpa mengulang akan menjadi sempurna? Kau mengibas rambutmu. Mungkin tadinya ingin menggelengkan kepalamu. Cuma kau cepat sadar. Meralat. Kau masih menggoda. Ingin rasanya kurenani pantai bibirmu. Merenangi setiap lekuk laut di tubuhmu. Berjalan di tumpukan batu tepi pantai yang panjang, di suatu kota yang pernah ada dalam ingatan.

Ingin rasanya.

"Kau tak sibuk?" suaramu bergetar.

Aku mengangguk cepat.

Kau berdiri. Mengambil bill di meja. Segera kusambar kertas itu, lalu menuju kasir. Kubayar apa yang kami pesan. Di depan pasar modern termegah di kota itu, kau menyetop taksi. Sebelum menutup pintu taksi, kau memberi tisue. Kubuka setelah taksimu bergerak: Hotel Grande Anugerah. Kamar 414.

Aku melambai. Meremas tisue darimu, melumat dengan alas sepatuku. Kemudian menendangnya hingga masuk ke selokan.

Aku menemanimu malam nanti? Terbayang bayi kembar dan lelaki beruntung itu.***

Dimuat di Harian Global 
10/02/2010