KETIKA iring-iringan kelelawar habis keluar sarang, maka ketika itu pulalah pertunjukan pantun dimulai.
Ki Cilong, juru pantun terbaik di Pakuan adalah seorang lelaki tua buta namun memiliki lantunan indah memikat. Maka dengarlah rajah-rajah pembuka yang dibawakannya.
Ahung! Ahung! Ahung!
ka sampun
ka luhur ka sang rumuhun
ka batara ka batari
ka Batara Susuk Tunggal
ka babak-babak di kahiangan
agungna ka Sunan Ambu
jembar ka Bujangga Seda
ka Bujangga Sakti
ka Pohaci Naga Ganaka Pohaci Naga Gini
Jisim abdi
pangrajahkeun
pangmunahkeun
pangnyilarkeun
Jisim abdi seja mantun
mantunkeun
Sang Mundinglaya Dikusumah ...
Maka Ki Juru Pantun mulai melantunkan cerita, cerita abadi tentang kepahlawanan Sang Mundinglaya Dikusumah.
Seluruh hadirin mendengarkan lantunan cerita itu dengan hidmat dan tak ada yang berani bersuara. Kendati ada nyamuk menempel di pipi, sepertinya pengunjung tak berani menepuknya, takut tepukan mengganggu kekhusyukan suasana. Namun manakala semua orang kena sirep oleh lantunan cerita Ki Juru Pantun, secaa tiba-tiba di bagian belakang ada kegaduhan. Kegaduhan itu diakibatkan oleh teriakan-teriakan hujatan dari seorang lelaki setengah baya bertubuh kerempeng dan sedikit jangkung.
"Bohong! Dusta! Itu cerita bohong!" teriak lelaki itu berdiri menunjuk-nunjuk.
Keruan semua yang ada menjadi bengong dan menoleh ke belakang. Keseriusan orang pun terganggu, bahkan Ki Cilong pun berhenti sejenak.
Namun sebelum orang itu kembali mencerca cerita pantun, empat orang penjaga keamanan segera menghambur dan menangkap lelaki setengah baya itu.
Lepaskan aku! Lepaskan aku!" teriaknya. Namun keempat orang penjaga keamanan lebih mempererat pegangannya. Salah seorang memegang pundaknya, salah lagi memegang bahunya. Lelaki itu ditelikung sehingga tak berdaya namun suara lantangnya masih terdengar nyata.
"Sang Prabu bohong. Dia tak sehebat dan sebaik yang diceritakan juru pantun. Sang Prabu Surawisesa bukanlah Mundinglaya yang gagah dan bijaksana, melainkan seorang yang kejam dan penuh ambisi!" teriak lelaki itu. Plak! Plak! Dua pukulan telak membuat perusuh itu jatuh pingsan. Empat orang penjaga segera memanggulnya pergi entah ke mana. Untuk beberapa saat, suasana cukup terganggu. Pertunjukan pantun terpaksa berhenti sejenak sebab orang-orang masih memperbincangkan peristiwa barusan dengan penuh tanda-tanya. Siapakah orang yang berani-mati mengritik Raja secara terbuka seperti itu?
"Dia mungkin gila, atau sekurang-kurangnya dungu. Bukannya orang lain tak mengerti akan keadaan yang sebenarnya, tapi buat apa menamakkan rasa tak senang kalau pada akhirnya kita celaka sendiri?" kata seorang tua menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. "Ssstt .." seorang tua lainnya memberikan tanda telunjuk di depan mulut sebagai pertanda perintah berbuat diam.."Kita hanya sebagai penonton, maka lebih baik tontonlah. Biarkan masa yang menentukan," katanya kemudian.
Perusuh itu kemudian dibawa ke balai kesatrian. Sebenarnya balai kesatrian bukanlah tempat untuk memeriksa tahanan. Namun karena Ki Dirgajaya tengah berada di sana, maka perusuh itu dibawa ke sana. Ki Dirgajaya ini tak lain adalah hulu-jaga. Untuk keamanan dan ketertiban kota, dialah yang bertanggung-jawab.
Ki Dirgajaya meneliti perusuh itu. Dia sebenarnya hanyalah seorang tua setengah baya, berpakaian sederhana bahkan bertindak-tanduk lugu. Namun sebagai seorang yang merasa dirinya akhli dalam penjagaan keamanan, Ki Dirgajaya tak pernah mengukur orang dari luar semata.
"Engkau datang dari mana, Ki Silah?" tanyanya.
"Aku rakyat Pakuan. Tinggal jauh di wilayah jawi khita!"
jawab lelaki setengah baya itu.
"Ya, sebutkan kampung halamanmu!"
"Cileungsi!"
"Dari Cileungsi, ya? Hai, gulang-gulang, coba periksa adakah kelompok tertentu di wilayah Cileungsi?" Ki Dirgajaya menoleh ke arah bawahannya.
Gulang-gulang serta-merta memanggil girang serat untuk segera membuka dokumen daun lontar.
"Bagaimana?"tanya Ki Dirgajaya karena kesal melihat anak-buahnya yang terlalu bertele-tele memeriksa dokumen daun lontar yang berisi daftar situasi negara.
"Di sana terdapat beberapa kelompok penentang raja. Di antaranya adalah kelompok Ki Jagayasa dan kelompok Ki Suntenlaya, Ki Dirga ..." kata girang serat.
"Suntenlaya? Bukankah dia pemberontak dari wilayah Sagaraherang, Antea?" tanya Ki Dirgajaya mengerutkan dahi seperti menderita pening kepala.
"Oh, ya betul. Ki Suntenlaya merupakan pemberontak dari Sagaraherang. Namun yang ini adalah Ki Suntenmanik, Ki Dirga ..." jawab Ki Antea petugas girang serat terbata-bata sebab salah memberikan data.
"Cobalah kerja sedikit tertib, Antea. Bulan lalu kau hanya laporkan sebagian. Padahal kelompok-kelompok penentang raja ternyata jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang yang kau catat, Antea!" dengus Ki Dirgajaya marah.
"Ki Dirga, bukankah itu yang anda inginkan?"
"Sialan kau!" Ki Dirgajaya menggebrak meja."Itu biar aku yang ngatur dan bukannya kau!"
"Maafkan saya, Ki Dirga ... " kata Ki Antea menunduk malu.
Ki Dirgajaya tidak mengacuhkan Ki Antea. Dia bahkan balik meneliti perusuh yang baru saja ditangkap.
"Kau pasti kelompok Ki Jagayasa. Betul, kan?" tanya Ki Dirgajaya matanya melotot tajam.
"Bukan .."
"Atau kau pasti kelompok Ki Suntenmanik. Betul, kan?"
"Bukan ..."
"Kalau begitu, kau pasti bukan penduduk Cileungsi. Kau adalah penduduk Sagaraherang dan merupakan kelompok Ki Suntenlaya. Kalau yang ini, betul, kan?" tanya Ki Dirgajaya terus menyelidik.
"Bukan ..."
Brakkk! Ki Dirgajaya menggebrak meja.
"Ini bukan itu bukan. Jadi sebetulnya kau ini kelompok siapa, heh?"
"Saya bukan kelompok siapa-siapa!" jawab perusuh itu masih duduk tegap.
"Atau sekurang-kurangnya, ada pihak-pihak lain yang mempengaruhimu untuk berbuat kejahatan?"
"Kejahatan? Apa yang saya perbuat sehingga kau katakan sebagai kejahatan?"
"Membuat keonaran di depan umum adalah kejahatan. Apalagi di tengah-tengah suasana pesta negara. Tak patut rasanya, di saat orang sedang senang hati, kau malah membuat rusuh. Kau telah menghina Raja. Berarti pula menghina negara!" kata Ki Dirgajaya.
"Saya bahkan tengah mencintai negara.Oleh sebab itu saya tak bisa menahan diri seusai mendapatkan kenyataan, betapa pahitnya keadaan negara hari-hari ini ..." kata sang perusuh.
"Ini ngaco! Kau memutar-balikkan keadaan. Dengarkan hai orang sinting dan bodoh! Ini adalah negara besar. Kerajaan Sunda sampai dengan bernama Pajajaran kini telah berusia lebih dari 700 tahun. Kalau kau mengakui ini negara besar, maka kau pun musti mengakui pula bahwa negara menjadi besar karena dipimpin oleh seorang raja besar, seorang raja yang tampan dan gagah berani dan selalu berjuang untuk kebesaran dan kesejahteraan negara ..."
"Ya, tapi itu hanya berlaku untuk Sang Prabu Sri Baduga Maharaja dan bukan untuk yang sekarang!"
Plak! Plak! Plak! Perusuh itu terjengkang ke belakang ketika telapak tangan besar dari Ki Dirgajaya menyambar pipinya beberapa kali.
"Yang bisa kau lakukan kepada rakyat hanya ini, Ki Dirga!" cetus sang perusuh masih dengan kata-kata tenang kendati nampak menderita kesakitan.
"Pukulan ini hanya untuk pembangkang. Untuk rakyat penurut dan hormat kepada Raja serta negara tak kulakukan hal seperti ini!" kata Ki Dirgajaya kesal.
Aneh sekali, pukulan selalu datang kepada orang yang punya pendirian beda ... " kata perusuh seperti kepada dirinya sendiri.
"Bukan beda tapi salah. Kau ini punya pendapat salah. Sang Raja tidak membenci orang yang punya pendirian beda dengan beliau. Tapi yang ini jelas salah. Kau menampik kemajuan negara. Itu jelas salah!"
"Ya, karena kemajuan negara bukan untuk rakyat. Saban tahun ada upacara seba Kuwerabakti sehingga di Pakuan terlihat leuit salawe jajar (lumbung padi 25 baris) hasil pungutan dari seluruh negri. Tapi kalian persembahkan untuk apa kekayaan itu? Untuk rakyat?"
"Sialan kau!"
Plak! Plak! Plak! Untuk kedua kalinya perusuh itu terjungkal dari tempat duduknya.
"Masukkan orang jahat itu ke dalam sel tahanan!" kata Ki Dirgajaya dengan wajah muram.
Maka serta-merta si perusuh itu diseret keluar.