Kamis, 04 November 2010

Bagian 1


 Di Puncak Cakrabuana                  
Suara tepukan itu iramanya terdengar beraturan. Dan yang lebih khas dari itu, keras menyakitkan karena tepukannya dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang kuat.
 Suara itu terus menggema ke segala arah. Dan untuk yang kesekian kalinya, terlihat burung-burung beterbangan dari dahan-dahan pohon pinus karena kaget.
 Namun manakala ribuan kelelawar melintas di goresan-goresan merah lembayung di ufuk barat, suara tepukan segera berhenti.
 “Lanjutkan, Ginggi!” teriak satu suara yang berat.
 “Tapi, kelelawar sudah mulai meninggalkan sarang, Aki,” jawab suara lainnya agak tinggi melengking.
 “Aku katakan, lanjutkan tugasmu, Ginggi!” yang bersuara berat terdengar membentak dan suaranya seperti memukul gendang telinga yang mendengar.
 Namun suara tepukan belum terdengar juga.
 “Aki, lihatlah! Kedua belah tanganku sudah pecah kulitnya dan ada darah keluar dari lubang pori-porinya. Pedih dan menyakitkan. Tidakkah ini menyiksa diriku?” keluh si suara kecil melengking dengan nada jengkel. Namun dijawab juga oleh suara nada berat tak lebih jengkelnya, ”Penderitaanmu dalam melaksanakan tugas latihan ini tidak separah rakyat Pajajaran, Ginggi. Hancur kulit telapak tangan tak seberapa sebab dalam sehari dua hari akan sembuh dengan sendirinya. Tapi hancur hati dan perasaan tak mungkin terobati sampai akhir hayat,” kata si suara berat.
 Hening sejenak. Terkecuali ada bunyi serangga yang terdengar dari kejauhan. Mungkin datang dari gundukan hutan pinus yang kini mulai dipeluk kabut tipis.
 Udara semakin dingin manakala kabut senja jatuh semakin menebal. Namun dua orang aneh yang asyik berdebat itu masih jua tak beranjak. Keduanya bahkan sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di bawah lembah memanjang, sebuah tempat yang paling dingin di puncak gunung, karena tempat itu jadi pusat perjalanan angin.
 Kedua orang itu mengambil tempat di sela-sela beberapa pohon loa yang besar dan berjanggut. Yang satu duduk bersila dengan punggung tegak serta dada membusung. Usianya mungkin sekitar 60 tahunan. Ada kumis tebal dan jenggot menggapuy hingga sebatas dada dan semuanya berwarna putih keperak-perakan. Kepalanya diikat kain pengikat berwarna nila namun tak sanggup menyembunyikan rambutnya yang lebat riap-riapan. Kalau lembayung tak begitu tipis, mungkin akan merupakan paduan indah serasi bila warna emas lembayung itu sanggup menerpa warna perak rambut orang tua itu.
 Ini sebuah pemandangan aneh. Di senja bercuaca dingin seperti itu, di mana kabut mulai menggayut, tapi dada bidang lelaki itu penuh bersimbah keringat.
 Dan yang tak kalah anehnya adalah pelaku satunya lagi.
 Lelaki ini usianya jauh lebih muda lagi, barangkali sekitar 15 atau 16 tahunan. Kendati rambutnya sama panjang dan sama tergerai, namun rambut pemuda ini nampak hitam legam dan tebal. Ada sedikit keriting di ujung-ujungnya.
 Dia pun sama tak berbaju, kecuali celanapangsi , yaitu celana panjang sebatas betis berwarna nila.
 Karena tak berbaju pula, maka nampak dadanya yang bidang pula. Ada tonjolan otot di sepasang lengannya.
 Pemuda itu nampak lugu. Wajahnya hampir bulat telur, hidungnya sedikit mancung, mulutnya selalu menyungging senyum. Dan yang paling menonjol dari semuanya, sepasang matanya berbinar bulat.
 Rambutnya yang subur hitam nampak tergerai menyapu tanah. Begitu panjangkah hingga sanggup menyapu tanah?
 Ouw, ternyata bukan rambut itu yang terlalu panjang. Bisa tergerai menyapu tanah lantaran tubuh pemuda itu posisinya dalam keadaan tak normal.
 Anak muda ini ternyata tengah melakukan atraksi. Seraya sepasang telapak tangannya masih bertepuk-tepuk lambat dengan pengerahan tenaga dalam, kaki-kakinya nampak tengah bergayut di dahan pohon loa.
 Kalau bertapa dengan kedudukan tubuh terbalik, maka orang Pajajaran bilang itu adalahtapa sungsang . Tapi anak muda itu sebetulnya bukan tapa sungsang, melainkan tengah berlatih ilmu kedigjayaan.
 “Aku tidak bilang bahwa kesengsaraanku lebih tinggi dari rakyat Pajajaran. Yang aku perbincangkan adalah soal janji Ki Darma sendiri,” gumam anak muda itu masih bergayut.
 “Aku memang senang berjanji tapi rasa-rasanya tak ada janji yang tak aku tepati,” jawab si lelaki tua.
 “Coba, janji apa yang aku langgar, Ginggi?”
 “Tadi dinihari Aki bilang bahwa latihanku hanya akan berlangsung dari mulai kelelawar pulang sarang hingga mereka kembali ke luar sarang. Nah, sekarang lihatlah di atas awan lembayung, bukankah kelelawar mulai keluar sarang?” tanya anak muda yang ternyata bernama Ginggi itu.
 Lelaki tua yang disebutnya Ki Darma itu tertawa terkekeh-kekeh.
 “Memang itu yang aku katakan sejak tiga hari yang lalu,” jawabnya.”Jadi, apanya yang salah?”
 “Sekarang, kelelawar mulai keluar sarang!” Ginggi menatap gurunya dengan wajah terbalik. 
“Memang mulai keluar sarang.”
 “Ya, tapi mengapa aku disuruh latihan terus!”
 “Ya harus, sebab kelelawar mulai keluar sarang!”
 “Aki licik!” “Kugampar mulutmu bila sekali lagi kau bilang aku licik!” Ki Darma nampak mengangkat tangan seolah mau menampar mulut muridnya.
 “Coba kau sebutkan, omonganku yang mana yang kau anggap licik!” tanya Ki Darma lagi. Tangannya tetap mau menggampar mulut Ginggi.
 “Baru mulai, tolol! Kan aku bilang, latihan berhenti kalau kelelawar baru keluar dari sarang. Sekarang memang baru mulai!” Ki Darma membentak marah.
 “Maksudmu, semua kelelawar mesti keluar dulu?”
 “Begitulah!”
 “Waduh, mati aku! Jadi sampai kapan latihan ini bisa selesai? Lihatlah Aki, bukan lagi ribuan, bahkan puluhan ribu kelelawar sudah keluar dari sarang. Bila harus menunggu kelelawar paling akhir, kapan selesainya?” Ginggi garuk-garuk kepala.
 “Tidak musti menunggu semua habis keluar. Satu kelelawar yang datang di rombongan paling belakang, itulah sasaranmu.”
 “Apa yang harus aku lakukan ?”
 “Timpuklah dengan buah loa.”
 “Dan musti kena?”
 “Dan musti kena!”
 “Celaka!”
 “Dasar anak malas! Tolol kamu!” lagi-lagi Ki Darma membentak.
 Untuk kesekian kalinya, Ginggi menepuk-nepuk sepasang telapak tangannya, seolah tak mau mentaati apa perintah gurunya. Namun manakala datang lagi serombongan kelelawar di angkasa, sepasang kakinya yang menggayut di dahan pohon loa segera dilepas. Serentak dengan itu dia jumpalitan. Ketika sepasang kakinya menjejak tanah, ujungnya dia hentakan pada tonjolan batu. Maka tubuhnya mumbul lagi ke udara. Dia jumpalitan lagi. Pas tangannya berada di dahan pohon, dia petik satu buah loa. Dan serentak dengan itu dia timpukkan ke udara.
 Siuuuut! Plass!
 Terdengar suara elahan napas kecewa dari Ki Darma. Ginggi pun menoleh pada gurunya dengan nada kecewa.
 “Tapi sedikit lagi hampir kena, Ki …” gumam Ginggi seperti ingin menghibur, entah menghibur siapa. Yang jelas, Ki Darma sudah melengos pergi dan berlari-lari kecil meninggalkan Ginggi dengan cara berloncatan pada tonjolan-tonjolan batu. Ki Darma menaiki lembah dengan cara seperti itu.
 Ginggi pun segera mengikutinya namun dengan cara merayap biasa saja. Dan dengan susah-payah, baru bisa menaiki tebing untuk meninggalkan lembah.
 “Kalau senja tak semakin meremang, aku yakin, kelelawar itu bisa aku timpuk …” gumam Ginggi seorang diri ketika sudah berada di belakang tubuh Ki Darma.
 “Tapi mataku tak pernah terpengaruh siang dan malam. Yang menentukan ke mana harus menyerang adalah kepastian di mana sasaran berada,” kata Ki Darma.
 “Tapi, Aki…”
 “Ya, karena kau tolol tak sanggup menangkap gerakan kelelawar itu!” potong Ki Darma tak mau memberi peluang Ginggi untuk mengemukakan alasan.
 “Aku akan sungguh-sungguh berlatih, Ki …”
 “Bukan berlatih tapi bertugas. Latihan itu hanya bagian penting dari tugas besarmu!”
 “Baik, Ki.”
 “Nanti lewat tengah malam, aku akan bunyikn kentongan selama sepemakan sirih. Sesudah itu aku akan ciptakan suasana sunyi sepemakan sirih pula. Kau musti bisa menulikan telinga di saat ada suara namun juga musti bisa menemukan suara sekecil dan sehalus apa pun di saat sunyi.”
 “Baik, Ki…”
 “Latihan itu akan berlangsung empat-puluh malam lamanya.”
 “Ba…baik, Aki …” kata Ginggi kembali melangkah.
 “Diam dulu.”
 “Ya. Aki…”
 “Setamat latihan ini kau akan merangkak ke tahap selanjutnya.”
 “Apakah itu, Aki?”
 “Kau musti bersila di sebuah ruangan tertutup tak ada cahaya, kecuali cahaya lantera.”
 “Baik, Aki.”
 “Dan latihan empat puluh malam empat puluh hari!”
 “Ba…baik, Aki…” Ginggi menghela napas pelan namun tertangkap oleh telinga gurunya.
 “Kau mengeluh?”
 “Tidak, Aki…”
 “Bohong bukan sikapmu. Kalau kau mengeluh, mengeluh kalau kau tidak, tidak.”
 “Aku mengeluh, Aki.”
 “Lantas, bagaimana tentang latihan ini?” Ki Darma menoleh ke belakang.
 “Mengeluh bukan berarti tak akan melaksanakan tugas, Ki…” sahut Ginggi.
 “Tapi akan lebih baik melakukan tugas tanpa keluhan,” potong gurunya.
 Ginggi mengangguk. (bersambung)

<<    >>