Selasa, 09 November 2010

Kunanti di Gerbang Pakuan (bag3)


Sementara itu, prepantun semakin menyeruakkan lantunannya. Persis seperti apa kata orang tua tadi, kini orang kerjanya hanya menyindir dan memuji tanpa berusaha mengubah keadaan dengan tindakan nyata. Sang prepantun tua, kalau tadi menggebu dengan sengatan, kini berkidung dengan puja dan puji.
Ki Darma Tunggara
bagaikan setetes air
di kegersangan
walau bisa jadi penyegar
tak mampu menepis haus
Oh, hai Darma Tunggara
engkau air setetes
yang hilang terserap bumi
Kini ada ksatria Ginggi
mencoba menguak hati
hidup mati tak peduli
asalkan yang hakiki bisa dicari
namun sayang tak pernah abadi
Ginggi pergi sebelum berseri
ke mana Ginggi ke mana
padahal negri tengah menanti
“Saya kerapkali mendengar nama Ksatria Ginggi banyak disebut kaum prepantun, tapi saya tak tahu apa maknanya, Aki…” gumam si pemuda sambil mengucak-ngucak ujung hidungnya yang sedikit mancung.
Orang itu menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Barangkali dia merasa terganggu sebab sudah sejak tadi pemuda itu hanya bertanya dan bertanya saja kerjanya.
“Berapa usiamu kini, anak muda?”
“Mungkin delapan belas…” jawab si pemuda sesudah mengingat-ingat sejenak.
“Pantas saja engkau tidak tahu, sebab nama Ksatria Ginggi mencuat pada sepuluh tahun
silam. Barangkali usiamu ketika itu baru delapan tahun, umur-umur di saat orang belum
mengerti keadaan,” kata orang tua itu.
“Saya ingin sekali tahu. Kalau Aki tak keberatan, tolong gambarkan secara singkat keberadaan orang itu,” kata si pemuda seperti penuh harap.
Maka di sela-sela denting dawai kecapi, yang dipetik prepantun, orang tua itu terpaksa sedikit bercerita.
Menurut dia, seni bercerita disebut pantun sebetulnya bisa juga disebut berita. Baik itu berita perkembangan negara, mau pun berita mengenai perjalanan hidup atau pengelelanaan seorang ksatria.
Sudah puluhan tahun orang-orang Pajajaran mengenal kisah Guru Gantangan atau juga lebih dikenal sebagai Mundinglaya di Kusumah. Cerita Mundilaya di Kusumah yang demikian terkenal sebetulnya diambil dari kisah nyata perjalanan hidup dan kisah heroik dari Sang Prabu Surawisesa ketika beliau masih muda. Begitu halnya dengan ceritra-ceritra lain seperti kisah Darmajati, Jayasena, Adiparwa, Sedamana, Kisah Anggalarang dan Banyakcitra, atau Sanghyang Lutung Kasarung. Semua adalah berupa kisah kepahlawanan orang-orang Pajajaran.
“Ceritra-ceritra itu abadi di hati orang Pajajaran, kendati tokoh-tokoh pujaan itu sudah tak ada di dunia lagi,” kata orang tua itu.
“Maksudmu, Ksatria Ginggi pun kini telah mati, Aki?” tanya si pemuda.
Orang tua itu menatap tajam, seperti diingatkan bahwa ucapannya mungkin tak seluruhnya benar.
“Ksatria Ginggi itu seorang pemuda yang sakti mandarguna. Dialah murid terkasih Ki Darma Tunggara yang sikap perbuatannya hampir menyerupai gurunya. Ki Darma dulunya bekas anggota seribu perwira pengawal Raja. Dia tidak berambisi, membela negara dengan tanpa pamrih. Begitulah muridnya. Ksatria Ginggi pun berhal sama. Tujuan mereka mulia namun banyak dikotori oleh orang lain yang ingin memanfaatkan situasi. Ki Darma Tunggara pernah dituding pemberontak dan dikejar-kejar prajurit atas perintah Sang Prabu Ratu Sakti. Begitu pun ksatria Ginggi, pernah mengalami nasib buruk dianggap pengkhianat.”
“Sekarang bagaimana?”
“Beruntung Raja yang sekarang sadar bahwa baik Ki Darma Tunggara mau pun Ksatria
Ginggi selama ini bukan saja tak pernah berkhianat, bahkan selalu berkorban untuk kepentingan negara. Kedua orang itu akhirnya dibersihkan namanya.”
“Barangkali mereka kini sudah menjadi pejabat di istana yang terkemuka, Aki…” kata si
pemuda memancing.
Orang tua itu kini seperti menghela napas berat seperti ada keluhan di dalam hatinya.
“Itulah yang disesalkan semua orang. Mengapa orang sebaik mereka malah tak pernah
berpeluang dengan tepat dalam upaya pembelaan terhadap negri ini…”
“Ki Darma tak pernah kembali ke istana. Malah khabar selentingan yang sampai ke telinga rakyat, Ki Darma sebetulnya sudah tewas di puncak Gunung Cakrabuana, sebab Sang Prabu Ratu Sakti, pernah memerintahkan para perwira untuk menyerbu ke sana…”
“Dan Ksatria Ginggi…?”
“Seusai berhasil ikut menggagalkan pemberontakan yang dipimpin Ki Banaspati, Ksatria
Ginggi pergi meninggalkan Pakuan secara diam-diam. Sampai kini sudah sepuluh tahun berselang. Ke mana ksatria muda itu pergi, tak ada khabar beritanya. Padahal, banyak orang merindukan anak muda itu. Di saat-saat seperti ini, mungkin negara memerlukan dia lagi…”
“Mengapa?”
“Engkau masih terlalu muda jadi belum faham situasi negara. Harap waspada, sebetulnya
negara dalam keadaan genting. Kekuatan di dalam negri semakin melemah, sedangkan musuh dari barat semakin kuat. Hanya ketika saat pemerintahan Sang Prabu Surawisesa yang gagah maka para prepantun sanggup mengabarkan Pakuan aman dari serbuan. Sedangkan di hari ini, Pakuan sudah tak punya apa-apa lagi. Kau lihatlah anak muda, Sang Prabu kurang berambisi untuk melawan musuh dan para prajurit kerjanya santai dan mabuk-mabukan. Ini bertanda bahaya sebab musuh akan segera datang…” ujar orang tua itu, disambut anggukan pelan pemuda bermata binar itu.
Malam semakin larut dan juru pantun pun semakin menggebu dengan lantunan dan celoteh merdunya. Semua orang semakin tenggelam dalan simakkan, kendati di beberapa sudut, ada yang terkantuk-kantuk atau kerjanya hanya bermabuk-mabuk. Sampai pada suatu saat si pemuda meninggalkan kerumunan itu dan berlalu memburu suatu tempat kegelapan.
Rupanya pemuda itu menemui seseorang yang sengaja menunggunya di kegelapan kelamnya pohon soka.
“Paman Manggala! Saya cari sejak tadi senja, ke mana saja?” kata pemuda itu menegur tapi dengan nada penuh syukur karena bisa bertemu dengan lelaki setengah baya berjenggot tebal dengan ikat kepala gaya barangbang semplak. Lelaki yang dipanggil Paman Manggala itu nampak berpakaian hitam-hitam, baik baju kampret mau pun celana sontognya. Nampak sekali dia tak ingin diketahui umum.
“Pragola, seharusnya engkau tidak terlalu banyak berhubungan dengan orang-orang di sini,”
terdengar Paman Manggala menegur.
“Ah…hanya berbincang-bincang dengan rakyat biasa saja, Paman!” jawab pemuda bernama Pragola ini.
“Tapi wajahmu itu…mengapa kau tanggalkan cambang baukmu?”
Pragola tersenyum kecil di keremangan malam sambil mengusap-ngusap dagunya yang halus kelimis.
“Saya tak melanggar perintah, sebab bukankah wajah bercambangku hanya ketika saya berpura-pura sebagai prajurit Pajajaran saja? Sekarang sudah saya tanggalkan pakaian prajurit dan berpakaian kebanyakan. Kalau tak ingin dikenal sebagai prajurit gadungan, ya akalnya harus mengembalikan wajah seperti semula, Paman…” kata Pragola melihat kiri-kanan, kalau-kalau ucapannya didengar orang lain.
Rupanya alasanmu ini masuk akal juga. Buktinya Paman Manggala menganggukkan kepala.
“Ya…Tapi yakinkah engkau dalam mengubah wajah tak ada orang yang tahu?” tanya Paman Manggala masih dengan nada khawatir. Pragola menggelengkan kepalanya.
“Lantas, kuda yang engkau pakai, di mana kini?”
“Saya menyembunyikan di suatu tempat. Tapi kalau kita jual, bagaimana, Paman?”
“Jangan…”
“Kita butuh uang untuk kebutuhan sehari-hari di sini!” kata Pragola.
“Jangan bodoh! Engkau akan tetap menjadi prajurit Sagaraherang yang utuh. Artinya, kuda dan seragam prajuritmu jangan sampai hilang!”
“Tapi sampai kapan saya akan keluyuran di sini?”
“Bodoh kau! Mari!”
perpantun masih melantunkan tembang-tembang cantik ketika Paman Manggala dan Pragola meninggalkan tempat itu. Pemuda itu dibawanya ke kegelapan malam. Keluar dari jalan berbalay dan masuk gang sempit yang diapit dua kuta (benteng terbuat dari tanah).
Berjalan lagi beberapa lama, melewati rimbunan pohon dan sedikit alang-alang. Lalu tibalah di sebuah rumah tua. Rumah itu terbuat dari gedek bambu seluruhnya. Beratap ijuk dan berlantai tanah. Yang membuat pemuda itu penuh perhatian, karena di ruangan rumah yang diberi penerangan pelita terbuat dari minyak jarak itu sudah duduk tiga orang. Di keremangan malam, nampak wajah ketiga orang berusia setengah baya itu dingin dan kaku.
“Ini pemuda Pragola yang kita maksud, Pangeran…” kata Paman Manggala.
Mulanya Pragola belum begitu jelas, siapa dari ketiga lelaki setengah baya yang dipanggil pangeran ini. Namun pada akhirnya Pragola mengetahui juga.
Yang dipanggil pangeran adalah lelaki berjanggut tebal yang duduk bersila di tengah, di atas hamparan tikar pandan. Lelaki bermata tajam ini berpakaian biasa saja, yaitu baju salontreng hitam dengan ikat pinggang terbuat dari kulit tebal. Dia menggunakan ikat kepala dari kain kasar berwarna nila. Ketika melihat Pragola masuk, lelaki yang ujung dagunya seperti terbelah dua ini menatapnya dari mulai ujung rambut hingga ujung kaki.
“Cepat haturkan sembah kepada Pangeran Yudakara…” kata Paman Manggala setengah menekan pundak pemuda itu. Karena tenaga tekanan itu begitu keras, Pragola membungkukkan badannya setengah terpaksa.
“Kau haturkan sembah lagi kepada Perwira Jaya Sasana dan Perwira Goparana…” kata
Paman Manggala.
Pragola tahu yang dimaksud Paman Manggala. Dan sekarang tanpa harus ditekan pundaknya, pemuda itu menyembah rengkuh (hormat sekali) kepada Perwira Jaya Sasana. Orang ini pun sebetulnya hanya menggunakan pakaian orang kebanyakan saja, yaitu baju kampret dan celana gombor, semua serba hitam. Lelaki setengah baya tanpa kumis atau cambang ini pun sama menggunakan ikat kepala warna nila seperti yang dikenakan Pangeran Yudakara.
Namun sama seperti apa yang ada pada diri Pangeran bersorot mata tajam itu. Kalau orang teliti memperhatikan mereka, akan nampak sekali bahwa semua bukan orang kebanyakan.
Jenis pakaian sederhana yang mereka gunakan tak akan sanggup menutupi kewibaan mereka.
Sorot mata mereka, gerak-gerik mereka, bagi pandangan orang yang teliti, akan nampak lain dari orang kebanyakan.
Selesai menyembah kepada Perwira Jaya Sasana, Pragola menghadap kepada Perwira Goparana dan kembali memberi hormat. Sebelum menunduk, pemuda itu sempat melirik untuk memperhatikan wajah perwira ini. Dia bermata seperti mata elang, hidungnya mancung sedikit melengkung. Kulitnya sedikit hitam dan pada sepasang tangannya yang kekar banyak bulu-bulu hitam tumbuh. Dagunya nampak kelimis dan nampak seperti habis mencukur jenggot. Pragola menduga, mulanya orang ini pasti bukan penduduk asli. Selama dia tinggal di kacutakan (setingkat kecamatan) Caringin wilayah kekuasaan Cirebon, telah beberapa kali bertemu dengan orang-orang berkulit hitam dan bertubuh jangkung seperti ini. Menurut pengetahuannya, orang-orang jenis ini mulanya datang dari negri Parasi (Iran kini), atau dari bagian tanah Arab lainnya yang pada akhir-akhir ini banyak berkunjung ke Nusantara.
Mereka selain datang ke Cirebon untuk berniaga, juga ada yang tinggal sebagai penduduk
tetap, bahkan ada juga yang mengabdi ke Karatuan Cirebon. Kalau benar begitu, barangkali Perwira Goparana ini pun adalah bangsa asing yang mengabdi kepada Cirebon. “Duduklah anak muda…” kata Pangeran Yudakara tanpa mimik yang berarti.
Pragola duduk bersebelahan dengan Paman Manggala dan berhadapan dengan ketiga orang itu.
“Aku tak tahu, sejauh mana engkau memiliki kepandaian. Tapi karena Manggala sudah memilihmu untuk ikut misi ini, maka aku pun akan percaya,” kata Pangeran Yudakara setengah bergumam.
“Semenjak Cutak (pejabat setingkat camat) Wirajaya meninggal karena sakit, anak ini sudah diurus oleh Ki Sudireja. Siapa pun sudah tahu Pangeran, Ki Sudireja adalah akhli kedigjayaan dari Karatuan Talaga. Orang tua sakti ini kendati tidak menjadi warga agama baru, akan tetapi selalu membantu Cirebon. Karatuan Talaga bisa jatuh ke Cirebon pun, yaitu pada tigapuluh satu tahun silam (1530 M), di antaranya karena bantuan Ki Sudireja,” lapor Paman Manggala dengan hormat.
“Sudireja membantu Cirebon. Tapi mengapa dia tidak masuk agama baru?” tanya Perwira Goparana ikut menyela pembicaraan.
Sebelum menjawab, Paman Manggala menatap dulu kepada Pangeran Yudakara seolah-olah minta pendapat.
“Jawablah…” jawab Pangeran Yudakara sebagai tanda memberi izin kepada Paman Manggala untuk menjawab.
Paman Manggala melirik kepada Perwira Goparana.
“Ki Sudireja membantu Cirebon meruntuhkan kekuasaan Karatuan Talaga dalam
mempertahankan agama lama, bukan lantaran urusan agama itu sendiri,” ujar Paman
Manggala.
“Karena apa dia mau membantu Cirebon?” tanya Perwira Gorana dengan mata tajam menyelidik.
“Karena rasa sakit hatinya terhadap Pakuan. Menurut Ki Sudireja, Pakuan Pajajaran adalah negara besar yang angkuh. Mereka lebih mementingkan gemerlapnya keraton ketimbang kesejahteraan ambarahayat. Sang Prabu Surawisesa yang menjadi pucuk pimpinan ketika itu, kegemarannya hanya berperang, sehingga rakyat lelah. Ki Sudireja adalah bekas perwira Karatuan Talaga yang telah berperang untuk Pakuan, tetapi tidak merasa mendapatkan imbalan sepadan dengan jasa-jasanya. Itulah sebabnya dia memendam sakit hati. Ki Sudireja juga termasuk orang yang membenci Sang Prabu Surewisesa karena kehadiran armada Portugis di Pelabuhan Sunda Kalapa adalah hasil undangan dan kerjasama Sang Penguasa Pajajaran itu,” kata Paman Manggala panjang-lebar.

<<   >>