Senin, 15 November 2010

Cerita Untuk Ning

Cerpen Wildan EM Asrori
KUKENAL dirimu ketika gerimis memergokimu di sudut kota beberapa waktu lalu. Langit kelam tertutup awan. Kamu berjalan tergesa-gesa seperti dikejar setan. Aku tersenyum geli melihat raut wajahmu yang pucat mirip mayat. Lalu kamu berhenti di sebelahku, di emperan toko, bersama gembel dan gelandangan yang selalu menebarkan bau busuk. Percakapan mengalir dari persamaan nasib. Tapi kukira kamu cukup berani untuk memulai sebuah permainan yang ternyata berakhir panjang, meski hanya sekadar bertanya jam berapa sore itu. Lalu, sesuatu tumbuh dari perkenalan yang serba singkat itu. Entah apa namanya aku tidak tahu. Seperti juga ketidaktahuanku tentang pertemuan-pertemuan yang tidak terencana itu, tapi nyatanya ia selalu datang di rumahmu atau rumahku. Sesekali di mal, cafe, atau di bawah rindangnya pohon beringin di alun-alun kota, mengusir letih. Tertawa lepas.Suatu kali kulihat pipimu memerah ketika kata-kata cinta meluncur dari mulutku. Kamu menatapku seperti tak percaya meski kemudian kepalamu tertunduk. Pipimu pun memerah. Setelah itu tubuh kita serasa melayang. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan sangat ringannya. Dan entah bagaimana mulanya aku tidak tahu, tiba-tiba kepalamu telah masuk ke dalam dadaku, kedua tanganmu melingkar di pinggangku dan perlahan nafas kita berpacu. Selanjutnya tanpa kita sadari kita telah melepas pakaian satu persatu. Nafas kita saling berkejaran. Memburu. Sesaat kemudian kita terdiam. Menatap langit-langit kosong. Tapi kamu tidak menangis. Kamu tersenyum manis. Dan itulah kali pertamanya bagiku.Aku tidak tahu apa sebenarnya yang ada dalam hatimu, yang kamu rasakan dalam hidup ini. Kamu tak pernah sedih. Kamu selalu gembira, bahagia, tertawa-tawa. Bahkan aku masih ingat ceritamu, bahwa kematian kedua orang tuamu yang berurutan sejak lima bulan lalu tak pernah membuatmu sedih. Sebaliknya kamu malah bahagia karena bisa berbuat apa saja tanpa ada seorang pun yang akan memaki-maki dan menyudutkanmu.Aku benar-benar bingung mengikuti cara hidupmu. Pernah suatu malam, di bawah remang cahaya bulan, kubacakan sebuah puisi kepadamu. Puisi tentang aksi pembantaian oleh sekelompok orang yang terjadi di sebuah pulau nun jauh di sana. Tentang mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan-jalan dan jutaan pengungsi yang sudah tak punya harapan hidup lagi. Aku berharap kamu akan sedih lalu menangis tersedu-sedu mendengar puisi itu. Tapi tidak. Kamu justru tersenyum lalu tertawa keras, seolah baru mendengar cerita lucu.‘’Sejak kapan kau menjadi penyair?’’ tanyamu terkekeh. ‘’Jangan jadi penyair. Lama-lama kau bisa sinting!’’Seterusnya malam berjalan sebagaimana biasanya. Seperti malam-malam sebelumnya. Dan, seprei yang kusut itu telah menjadi lebih kusut lagi ketika kamu, ah tepatnya kita, tak dapat menahan sesuatu yang menggejolak dalam dada. Dan seperti biasanya pula aku baru sadar setelah segalanya berakhir. Berakhir di bawah selimut mengatur nafas, memejamkan mata. Mungkin saat itu aku menyesal. Tapi entahlah.Dan kita baru bangun ketika cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat jendela. Juga deru knalpot dan hentakkan klakson di jalan raya memekak telinga. Ah, kita tidur pulas sekali. Mungkin karena lelah dan capek. Dan, puisi yang semalam kubacakan itupun telah hilang dari ingatanku, apalagi ingatanmu. Seperti biasa kita lalu mandi dan sarapan pagi.‘’Kehidupan yang gila ini harus dijalani dengan cara gila pula. Kalau tidak kita justru akan benar-benar jadi orang gila,’’ katamu usai sarapan pagi sambil melap mulut dengan tisue. Santai.Kali lain, pada pagi yang cerah kuajak kamu jalan-jalan ke sebuah perkampungan kumuh, menyaksikan kehidupan kota yang sakit. Anak-anak kecil berleleran di gubuk-gubuk reot menahan lapar dikerubuti ratusan lalat mendengung-dengung. Kamu merasa jijik, menutup hidung. Mungkin juga di balik kaca mata hitammu, matamu terpejam rapat-rapat. Terdengar nafasmu yang berat dan keluhmu tertahan. Kamu seperti ingin meludah.‘’Sungguh, aku tak betah di tempat seperti ini. Ayo, kita pulang!’’ suaramu parau, memelas.‘’Inilah kehidupan kita yang sebenarnya. Lihatlah.’’‘’Bukan. Itu bukan kehidupan kita,’’ jawabmu melengos lalu benar-benar meludah.‘’Aku tidak paham...’’‘’Sudahlah, ayo kita pergi dari sini. Perutku mual mau muntah.’’‘’Sebentar lagi.’’‘’Tidak mau! Perutku mau muntah.’’Entah kenapa aku selalu tak kuasa menolak keinginanmu. Seperti kerbau dicucuk hidung, aku menurut. Padahal sebenarnya aku hanya ingin mengatakan kepadamu bahwa sesungguhnya hidup ini penuh penderitaan. Di antara kemewahan yang terhampar di jalan raya dan di gedung-gedung menjulang tinggi, kemiskinan masih tersebar di mana-mana.Tapi kamu tak mau tahu. Dan aku selalu kalah. Ya, aku selalu kalah setiap kali halus kulit tanganmu menyentuh kulit tanganku. Setiap kali suara lembutmu kau bisikkan di gendang telingaku. Dan, ah, bagaimana mungkin aku bisa memenangkan setiap permainan yang sengaja kuciptakan agar kamu mengerti hakikat hidup yang sesungguhnya jika pada akhirnya aku justru terseret oleh permainanmu sendiri. Dan entah, sudah berapa ratus ribu kata terima kasih kuucapkan atas kehangatan yang telah kamu berikan kepadaku.Hingga suatu kali aku merasa telah berubah menjadi orang sinting. Diam-diam aku menyesal berkenalan denganmu. Aku merasa terjebak. Lebih-lebih ketika aku sadar bahwa kenikmatan bersetubuh ternyata bukan segala-galanya. Aku merutuki diriku sendiri.Lalu pertenngkaran terjadi sore itu. Kamu mengeluarkan kata-kata makian kepadaku yang langsung kubalas dengan tamparan bertubi-tubi. Wajahmu memar. Kamu menangis.‘’Hidup ini kejam, Ning!’’ kataku keras.Sejak itu kamu menghilang, lenyap seperti ditelan bumi. Aku merasa lega. Kembali aku menulis puisi. Menulis hidup warna-warni.***KUTULIS cerita ini pada malam ke 360 setelah kepergianmu. Setelah tak satu puisi pun berhasil kutulis. Setelah malam-malam berlalu sepi, mencekam. Membosankan.Kini baru kusadari ternyata kehadiranmu mempunyai banyak arti bagiku. Bukan masalah menang atau kalah, menguasai atau dikuasai, mencintai atau dicintai, tapi kukira kita memang harus sering-sering bertemu dan bercinta agar hidup penuh dengan warna meskipun seluruh persendian tulang akan terasa pegal-pegal olehnya.Sering-sering bicara tentang cita-cita, rasa bahagia, atau apa saja yang indah-indah.Kukira aku telah benar-benar menjadi gila. Gila oleh berbagai macam persoalan hidup yang busuk ini. Yang terus dan terus mengalir tiada habis. Janji-janji yang diobral tanpa pernah membuahkan hasil. Benar katamu Ning, kita memang tidak perlu berjanji karena janji masih membuka peluang untuk diingkari.Mungkin suatu saat nanti kita perlu mencari tali untuk menjerat leher kita sendiri, menggantung di bawah langit Indonesia sambil telanjang! Mampang, September 2001.
 Dimuat di Kedaulatan Rakyat 03/03/2002