Minggu, 09 Januari 2011

Sang Mudinglaya (bag 5)

"Saya hanya merasa heran saja, mengapa ada pemimpin perjurit tidak gemar melakukan peperangan. Kalau saya yang jadi hulu jurit, mungkin yang saya pikirkan adalah bagaimana caranya agar setiap saat timbul peperangan. Dengan demikian, akan ada peluang bagi saya untuk menaikkan derajat saya. Bila perang terus-terusan dimenangkan oleh saya, maka jabatan saya akan terus naik, Ki Guru!" ka Anggajaya sambil terkekeh-kekeh.
"Sialan engkau, Angga! Pikiranmu sudah mulai jahat!" hardik gurunya.
Sementara Anggajaya hanya terkekeh-kekeh saja.
"Pantas Ki Guru kerap kali berkata bahwa kalau tak bisa mengendalikan, maka ambisi itu jahat. Itulah seperti jalan pikiran saya barusan. Saya ngeri dibuatnya bila saya memiliki jalan pikiran seperti itu," kata Anggajaya pada akhirnya.
"Itulah yang aku khawatirkan di istana hari-hari ini. Sang Prabu seperti terlena dalam peperangan. Selama dia memimpin, sudah terjadi belasan peperangan, baik melawan musuh dari dalam mau pun musuh dari luar," kata gurunya.
"Ada musuh dari dalam dan dari luar, Ki Guru?"
"Ya. Musuh dari dalam adalah negara-negara kecil yang memberontak. Sementara musuh dari luar adalah kekuatan baru yang datang dari wilayah timur, yaitu Cirebon ..." kata gurunya menerangkan.
Anggajaya termenung dibuatnya. "Kalau begitu, Pajajaran selalu disibukkan oleh peperangan.
Kapan mereka akan memperhatikan kesejahteraan pada rakyatnya, Ki Guru ?" tanya Anggajaya.
"Itulah yang aku risaukan. Sang Prabu terlena oleh ambisinya, yaitu ingin Pajajaran besar seperti ketika dipegang oleh ayahandanya. Untuk menopang ambisinya itu, maka Kangjeng Prabu selalu bertindak keras. Kepada kelompok yang pendapatnya bersebrangan, Sang Prabu selalu tak mengasih hati. Negara-negara kecil bawahan Pakuan selalu diperangi karena berbeda pendapat," kata gurunya.
"Seharusnya manusia dibuat dari batu agar pendapatnya sama semua, yaitu duduk mematung tak berbuat sesuatu ..." kata Anggajaya sambil kembali terkekeh.
Melihat ini, guruna kembali terheran-heran. Pikirnya, Si Angga ini tidak terlalu suka memperbincangkan kehidupan pribadinya. Buktinya, perbincangan yang amat menarik bagi dirinya adalah yang menyangkut diri orang lain.
"Barangkali ini lantaran terpengaruh oleh pepatah-pepatahku," pikirnya. "Aku memang kerapkali bilang bahwa tak baik memikirkan diri sendiri, sebab bila manusia selalu begitu, maka akan timbul keserakahan ..." lanjutnya lagi dalam hatinya.
"Dan yang membuat Sang Prabu terlena oleh ambisinya ini, karena selalu dipengaruhi oleh para pembantunya yang juga sama memiliki ambisi, Angga!" kata gurunya.

 "Jahat benar! Siapa para pembantunya itu, Ki Guru!"
"Ya, di antaranya adalah Hulu Jurit penggantiku dan yang kedua adalah Muhara."
"Apakah Muhara itu, Ki Guru?"
"Muhara adalah pejabat penarik seba atau pajak. Dia ikut memanasi Kangjeng Prabu agar dana negara banyak dihabiskan untuk membangun kekuatan militer. Maka bekerja sama dengan hulu jurit yang baru, lengkaplah sudah persekongkolan di istana Pakuan ini," kata gurunya.
"Kurang ajar! Siapakah mereka itu adanya, Ki Guru?"
"Hulu Jurit adalah Ki Jongjang, sementara pejabat muhara adalah Ki Citrasena. Itulah ayahandamu!"
Mendengar ucapan ini, Anggajaya mundur dalam duduknya. Wajahnya terperangah karena merasa kaget.
"Apakah saya harus melawan ayahandaku sendiri, Ki Guru?" tanya Anggajaya sesudah lama merenung.
"Aku tak pernah bilang begitu. Itulah sebabnya, sejak dulu aku simpan rahasia ini. Namun sudah aku katakan, tak selamanya kejahatan musti ditimbun terus. Suatu saat kau akan tahu.
Namun aku tak mau pengetahuan ini kau dapatkan dari orang luar. Itulah sebabnya, setelah kau dewasa, aku sampaikan berita ini," kata gurunya.
Mendengar ini, Anggajaya termenung lesu.
"Ki Guru, apakah ayahandaku orang jahat?" tanya Anggajaya masih menunduk.
"Susah untuk mengatakan, sejauh mana orang disebut baik atau jahat. Apakah orang punya pendirian beda bisa disebut jahat? Ketika aku masih bertugas, kerap kali aku bersilang pendapat dengan ayahandamu. Dia punya ambisi besar agar Pajajaran tetap besar dan kalau mungkin kebesarannya jauh melebihi kebesaran yang dimiliki Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja. Dia bersepakat dengan Ki Jongjang, bahwa kebesaran negara hanya bisa dipertahankan bila kehidupan militer lebih kuat. Untuk itu, maka perlu dana besar dalam membangun kehidupan militer. Maka, seba dari negri bawahan ditingkatkan untuk membangun kekuatan militer. Tapi ini amat memberatkan negri bawahan, sehingga akibatnya, negri bawahan ada yang berani memberontak untuk melepaskan diri karena mereka menolak membayar seba yang tinggi," kata guru Anggajaya.
Untuk kedua kalinya Anggajaya merenung.                  

TAMAT