DI sebuah desa terpencil, masih di wilayah Pakuan, seorang pemuda tengah berlatih ilmu kedigjayaan. Pemuda itu masih belia. Barangkali usianya sekitar enambelas.
Di tepian kali yang berair jernih, pemuda dengan dada terbuka karena tak berbaju ini sudah nampak bersimbah peluh padahal hari masih pagi benar. Burung-burung pun masih bercicit menyambut mentari di atas dahan-dahan pohon.
"Hiiaaahhh! Hiiiaaahhh! Hiiaaahhhh!
Deeeesssss ..... Braaakkkk !!!
"Latihanmu bising sekali, Anggajaya. Apa tidak kau lihat
betapa burung-burung pagi terusik ketenangannya? Dan apa tak kau lihat betapa isi hutan porak-poranda karena amukanmu?" tanya seorang lelaki tua usia 60 tahunan berambut panjang diikat kain warna nila.
"Oh ... Ki Guru."
Pemuda elok bernama Anggajaya ini cepat menghentikan latihannya dan segera mendekati gurunya.
Aneh sekali. Seorang murid begitu tak mengindahkan sopan-santun. Ketika dirinya telah dekat dengan tubuh gurunya, serta-serta dia melakukan gerakan-gerakan menyerang. Kaki kanannya menyapu ke bawah sementara tangan kirinya menjulur lurus mengarah perut.
"Hiiiaaahhhhh! Mendapatkan serangan berbahaya ini, orang tua berambut panjang itu meloncat ke udara dan jumpalitan beberapa kali. Ketika tubuhnya meluncur ke bawah, dia pun segera balas menyerang dengan melebarkan telapak tangan kanannya dan mengeluarkan angin pukulan sehingga menderu ke arah tubuh Anggajaya.
"Hiiiaaaahhhhh!" Blaaarrrr !!! Dua angin pukulan beradu di udara dan mengeluarkan bunga api. Sebagian bunga api membakar dedaunan kering di sekitarnya.
Dan manakala tahu ada bagian hutan yang terbakar, maka kedua orang guru dan murid ini kelabakan mematikan kobaran api.
"Sialan kau Angga!"
"Hahahaha! Guru kalah kali ini!"
"Cih, siapa yang kalah olehmu, bau?" kata gurunya sambil memulai penyerangan baru. Kali ini membuat gerakan tangan memutar seperti baling-baling, sehingga angin berciutan dan dedaunan pun rontoh dibuatnya.
"Sudah! Sudah! Sudah! Aku jemu berlatih! Jemu, Ki Guru!" teriak Anggajaya sambil berlarian ke sana ke mari menghindari kejaran gurunya.
Ketika tiba di ujung batu cadas, Anggajaya sudah tak bisa ke mana-mana lagi. Akhirnya dia mengacungkan kedua tangannya ke atas sebagai tanda takluk namun dengan mulut tertawa renyah.
"Hai anak bandel, kenapa malah jemu berlatih?"
"Habis, latihan ini mengacaukan. Jangan-jangan, kalau sudah digunakan kepada hal sebenarnya, aku akan jadi penghancur ..." kata Anggajaya. Kali ini mimiknya serius dan bahkan cenderung terlihat mengandung keluh.
Ketika mendengar pendapat Anggajaya, orang tua itu pun terlihat menghela napas panjang.
"Engkau benar Angga. Maka, semakin tinggi ilmu yang engkau miliki, sebenarnya akan semakin berbahaya juga. Namun kau jangan salah. Ilmu hanyalah semacam alat. Seperti kau memiliki peso pangot. Apakah untuk digunakan menulis di atas daun lontar ataukah mau kau tusukkan ke tubuh orang. Ibarat engkau memiliki sebuah lumpang. Apakah akan kau gunakan untuk menumbuk bahan makanan atau akan kau pukulkan ke kepala orang? Jadi pada dasarnya, kejahatan itu ada pada diri manusia, bukan pada benda matinya, Angga ... " kata orang tua berambut panjang ini.
Anggajaya mengangguk-angguk. Namun lantas dia pun bertanya kembali.
"Kalau begitu, buat apa sebenarnya ilmu kedigjayaan ini? Yang Ki Guru ajarkan padaku, semuanya adalah taktik-taktik untuk menghancurkan, termasuk untuk membunuh. Padahal di lain pihak Ki Guru pun pernah berkata bahwa apabila kita tak bisa menghidupkan, maka jangan coba-coba berani membunuh?"
"Itu pun kau benar. Ilmu membunuh bukan berarti sesudah kau miliki maka pekerjaanmu menjadi pembunuh."
"Begitukah?" Manakala guru dan murid sedang bercakap-cakap, dari kejauhan datang seseorang.
"Itu Ki Kahpi datang ..." seru Anggajaya.
"Ada apa dia tergopoh-gopoh ke sini?" tanya orang tua berambut panjang mengerutkan kening.
Begitu tiba di hadapan Anggajaya, Ki Kahpi segera memberitakan apa yang jadi pengetahuannya.
"Di dayo (ibukota) telah terjadi lagi serentetan penangkapan, Ki Guru ... " kata Ki Kahpi.
"Hm ... "
"Mengapa akhir-akhir ini kerap terjadi penangkapan, Ki Guru?" tanya Anggajaya.
Pertanyaan ini tak ada yang menjawab, sebab baik orang tua yang jadi gurunya atau pun Ki Kahpi sepertinya tengah merenung dalam.
"Kali ini, siapa yang ditangkap, Kahpi?" tanya orang tua berambut panjang itu.
"Justru ini yang mengherankan. Perusuh-perusuh yang lain kerapkali saya kenal, dia kelompok mana. Namun orang ini, saya tak kenal, Ki Guru ... "
"Kira-kira, apakah dia ini orang kebanyakan?"
"Saya tak bisa bilang begitu. Sepintas memang seperti orang kebanyakan yang papa dan tak tahu apa-apa. Tapi saya sangsi.
Mungkin dia bukan orang sembarangan, Ki Guru..." jawab Ki Kahpi, membuat guru Anggajaya semakin mengerutkan dahi.
"Bagaimana dengan anak ini, Ki Guru?" tanya Ki Kahpi menoleh kepada Anggajaya.
Latihannya sudah mendekati benar. Hanya saja kita perlu memberikan pengetahuan yang pas. Jangan sampai anak ini jadi salah mengerti kepada tujuan kita..." kata guru Anggajaya, membuat pemuda itu terheran-heran.
"Sepertinya kalian tengah memperbincangkan saya, ada apakah sebenarnya?" tanya Anggajaya menatap keduanya. "Betul sekali, anak muda. Mungkin dalam hari-hari mendekat ini, kau akan menerima titah dari gurumu ..." kata Ki Kahpi.
"Belum tentu begitu. Aku hanya inginkan, Si Angga ini punya pikiran bijak dalam menghadapi permasalahan dunia ..." kata guru Anggajaya sepertinya membantah omongan Ki Kahpi.
"Saya tidak mengerti apa yang kalian bicarakan ini ..." kata Anggajaya semakin bingung.