Cerpen Rifan Nazip
Bibirnya kelu. Kata-kata Bapak yang menghantam gendang telinganya, terasa menyakitkan. Gadis beranjak dewasa ini hanya dapat tertunduk. Diam-diam melipat ujung bajunya. Membiarkan gerai air mata menjalari pipi, menitik dan menindas lantai papan dengan bunyi tetes halus.
Dia tak menyangka Bapak sedemikian marah. Sejak kecil sampai berumur hampir tujuhbelas tahun ini, dia tak pernah merasakan bagaimana amarah seorang Bapak. Tiada sekalipun dia membentak Luhur. Dia selalu menuruti semua kemauan putri satu-satunya itu. Hingga, kalau sang putri berbuat salah yang parah, dia hanya tersenyum dan mengeluarkan kata-kata nasehat.
Seperti dulu ketika kacamata Bapak dipecahkannya. Si Bapak hanya menyarankannya agar berhati-hati. Begitu pula ketika dia sengaja terlambat pulang sekolah karena ingin melihat anak-anak lelaki mandi-mandi di kolam retensi, Bapak hanya mendehem seraya memintanya jangan mengulang perbuatan itu untuk yang kedua kali. Sementara tangan Bapak yang kukuh mengusap-usap seluruh tubuh Luruh dengan handuk. Karena semua pakaiannya kuyup. Anak-anak lelaki yang mandi-mandi itu telah menyiraminya tanpa kasihan, meskipun dia menjerit-jerit meminta agar mereka berhenti. Tapi mereka menganggap itu adalah semua mainan.
Lalu, kenapa untuk masalah yang satu ini Bapak teramat marah?
* * *
Dia bernama Luhur. Menurut Bapaknya yang biasa dipanggil orang Pak Barda, nama Luhur adalah pemberian Ibu Luhur sendiri. Mungkin dia kelak menginginkan putrinya tumbuh-kembang menjadi perempuan berbudi luhur. Luhur tak perlu cantik, sebab keluhuran hati bisa mengalahkan kecantikan wajah.
Sayang sekali, ketika Luhur masih berusia dua tahun, Ibunya meninggal dunia. Praktis dia menumpukan hidup dan kasih-sayang kepada seorang Bapak semata. Maka sudah sewajarnya hubungan mereka sedemikian erat. Mereka bagai insan yang tak bisa dipisahkan. Kasih-sayang itu menghambur, membuncah. Tawa mereka tak terlerai setiap kali sempat memancing ikan di pinggiran sungai. Ah, Luhur menjadikan Bapak sebagai lelaki idolanya. Sedangkan Bapak mengaguminya sebagai perempuan tercantik di dunia.
Hingga kemunculan Guntur, pemuda dari tanah Batak itu, lambat-laun melunturkan keidolaaannya atas nama seorang Bapak. Guntur seorang supir angkot. Sejak Luhur naik kelas ke kelas dua SMA, angkot yang disetiri lelaki itu selalu menjadi langganannya. Maka itu, lambat laun keakraban terjalin di antara mereka. Luhur yang biasanya duduk di bangku belakang, berubah posisi di dekat sopir. Mereka pun selalu berbincang ria. Tentang apa saja, dan lelaki itu senang bercanda. Ya, seperti Bapak. Barangkali itulah awal pertama yang menyebabkan Luhur menyenanginya. Walau dia tahu umur mereka berbeda jauh. Guntur duapuluh lima tahun, sedangkan Luhur saat itu enam belas tahun.
Perhatian Guntur menjadi-jadi kepadanya. Kerapkali kalau terlambat pulang sekolah, Guntur tetap setia menunggunya dan membiarkan penumpang lain terbengkalai. Puncaknya kemarin, saat persahabatan mereka mencapai usia hampir dua tahun, Guntur mengungkapkan keinginannya.
“Hur, Bapakmu galak, tidak?” tanya Guntur saat mereka sedang menikmati es cendol di dalam angkot.
“Tidak! Dia orang yang baik!” Luhur menatap polos ke arah lelaki itu, yang seketika tertunduk sambil pura-pura mengaduk-aduk cendolnya dengan ujung telunjuk. “Kenapa rupanya?”
“Aku mau berkunjung ke rumahmu. Boleh?”
Luhur mempermain-mainkan ujung rambutnya. “Boleh tidak, ya?”
“Boleh atau tidak?” Guntur ngotot. Luhur tertawa. Dan gadis itu mengangguk-angguk setuju. Guntur berjanji datang selepas maghrib. Karena saat itu Bapak sudah pulang kerja dan shalat maghrib.
* * *
“Untuk apa kau menerima tamu lelaki di rumah ini, ha? Sopir angkot pula! Tak ada lelaki yang lebih beres yang bisa berteman denganmu?” Amarah Bapak menyurut. Namun suaranya tak sekencang tadi.
“Apa salahnya kami berteman, Pak!” Akhirnya sanggup juga Luhur mengeluarkan suara.
“Teman? Hur, Hur! Kalau seorang lelaki yang bertamu sendirian ke rumah seorang perempuan, itu artinya dia memendam asmara. Aku juga tahu kalau kau mencintainya. Kau ingin berpacaran dengannya, kan? Menikah dengan sopir angkot?” Bapak tertawa sumbang.
“Tapi, Pak! Aku tak bisa menolak keinginannya. Selama ini, aku lebih sering tak membayar ongkos angkotnya. Malahan aku sekali-dua ditraktirnya makan-minum.”
“Sudah sejauh itukah? Oh, bodohnya kau Barda! Kenapa kau sampai alpa memperhatikan pergaulan putri tunggalmu sendiri?” Dia mendekati Luhur. Sedikit kasar dipeganginya tubuh putrinya itu. Dicermati seluruh lekuk-liku tubuhnya. Dia jelalatan. Amarahnya mendengking, sehingga Luhur merasa bagai meleleh. “Kalau sampai ada yang berkurang dari tubuhmu, mampus dia!”
Bentakan terakhir itu adalah pertanda dia akan membuat permulaan menyakitkan bagi seorang Guntur. Terbukti ketika Guntur tiba dan mengucapkan salam, Barda langsung ke luar kamar seperti jenderal hendak berperang. Dia menyelipkan parang di pinggang. Sebuah tongkat rotan sebesar ibu jari kaki orang dewasa, tercengkeram erat di tangan kirinya.
Guntur seolah melihat malaikat pencabut nyawa. Tanpa menoleh ke arah Luhur yang hanya dapat duduk masai di sofa, dia segera berlari tunggang-langgang. Mengebutkan angkot sampai menghilang di tikungan.
* * *
Mata Luhur membengkak. Semalam-malaman dia menangis di tempat tidur. Belakangan dia terlambat bangun. Bapak sudah berangkat kerja tanpa sarapan. Luhur memutuskan tak masuk sekolah hari ini.
Sembari menyeret sandal, dia berjalan menuju kamar Bapak. Suasana di kamar orangtuanya itu masih berantakan. Selimut dan bantal di lantai. Kemeja kotor bekas kerja kemarin, terletak di atas tempat tidur. Luhur menggeleng-geleng. Dia masuk ke dalam demi merapikan semuanya. Meskipun sedikit kesal, Barda tetaplah Bapak kandungnya.
Tak sengaja dia melihat sebuah buku bersampul hitam di atas meja kerja Bapak. Mungkin dia lupa membawanya. Oleh sebab itu, Luhur meraih dan hendak menaruhnya ke dalam lemari buku. Namun mendadak sehelai photo jatuh dari sela-selanya. Photo perempuan. Photo Ibu seperti yang tergantung di ruang tamu. Cuma ukurannya lebih kecil.
Anehnya photo itu disilang dengan tinta merah. “Apa maksudnya?” batin Luhur.
Dia paling tak ingin membongkar-bongkar barang pribadi orang lain, termasuk milik Bapaknya sendiri. Tapi kali ini seolah ada magnet yang kuat, sehingga dia membuka buku bersampul hitam itu, persis di bekas tempat photo itu terselip. Dibacanya tulisan bapak yang kasar-kasar.
Malam jahanam.
Barda, Barda! Kau memang orang yang bangsat dan pecundang. Kau telah dikecewakan oleh perempuan-perempuan terdekatmu. Pertama Ibumu, yang menikah dengan sopir angkot, dan lahirlah dirimu. Sopir angkot bajingan, yang tak pernah kau anggap Bapak. Karena sudah seringkali kau melihatnya menggandeng perempuan yang bukan Ibumu. Sementara Ibumu hanya tumpuan kekesalannya. Sering ditampar, ditendang. Saat itulah kau bertekad untuk tak dekat-dekat dengan sopir angkot, dan tak berniat menerusklan pekerjaan Bapakmu meski dia memaksa dengan ikat pinggang.
Ingat pula ketika kau menikah dengan perempuan manis-ayu bernama Sukesih itu? Ah, ah! Ternyata setelah dia memberimu putri bernama Luhur, dua tahun berselang, sebab kesibukanmu pulang-pergi ke luar kota, membuat Sukesih diam-diam berselingkuh. Siapa selingkuhannya? Sopir angkot! Tapi syukur sekali kau bersikap bijak menceraikan dan mengusirnya dari rumahmu, sementara Luhur kau ambil sebagai penerusmu.
Barda, Barda! Kau pikir semua sudah berakhir dengan bahagia? Apalagi dibumbui kebohongan terhadap Luhur bahwa Ibunya sudah meninggal.
Tidak! Sama sekali belum usai, kawan. Kali ini muncul masalah baru. Luhur anakmu hendak berpacaran dengan sopir angkot? Ach, apaan pula itu? Jaman sudah edan? Apakah kau harus menghabisi nyawa lelaki yang mendekatinya itu….
Bibir Luhur kelu. Dia tak bisa berpikir lebih jernih lagi. Dia seolah luruh, meleleh, mencair dalam kehidupan Bapaknya yang terpintal dari labirin kehidupan menyesak dada.
***
Dimuat di Berita Pagi
09/19/2010