Minggu, 09 Januari 2011

Sang Mudinglaya (bag 4)


MALAM harinya, Anggajaya dipanggil ke pondok gurunya, sebuah rumah panggung kecil hampir menyerupai dangau.
Ini tentu amat menggembirakan dirinya sebab sudah sejak lama dia inginkan sesuatu.
Ada misteri yang melingkupi dirinya dan kata gurunya, hanya akan disampaikan bila saatnya tiba.
"Tidakkah ini saat yang aku nantikan?" tanyanya dalam hatinya. Anggajaya naik ke atas tepas atau semacam beranda, ketika gurunya membuka pintu gubuknya.
"Duduklah yang benar, Angga ..." kata gurunya.
Anggajaya duduk bersila dengan hati berdebar.
"Tahukah bahwa namamu Anggajaya?" tanya gurunya membingungkan.
"Sejak dulu, nama saya Anggajaya ..."
"Benar. Tapi tidak semua orang bernama seperti itu. Itu adalah nama seorang keluarga menak. Kau adalah bagian dari menak Pajajaran, Angga ..." kata gurunya.
Anggajaya melongo mendengar khabar ini.
Mendengar perkataan gurunya, Anggajaya termenung.
"Apakah menak itu, Ki Guru?"
Mendengar pertanyaan Anggajaya, gurunya terkekeh-kekeh. "Adakalanya kau beruntung karena kurang memiliki pengetahuan, anak muda. Sebab dengan pengetahuan yang terbatas, maka jalan pikiranmu juga terbatas. Kalau jalan pikiran terbatas, maka keinginanmu pun jadi terbatas juga," kata gurunya.
Namun mendengar ini, Anggajaya jadi kurang senang. "Sebetulnya yang ingin saya tahu, apakah menak itu, Ki Guru?" tanyanya lagi. "Menak adalah semacam kedudukan bangsawan. Anak raja, atau anak pejabat negara, pasti golongan menak. Sementara di luar itu, adalah golongan kebanyakan. Mungkin hanya setingkat kaum santana yaitu golongan pedagang dan peladang kaya, atau ya golongan cacah, artinya rakyat kebanyakan ..." kata gurunya.
Mendengar ini, Anggajaya termenung lama. "Kalau begitu, Ki Guru pasti dulunya kaum bangsawan juga ..." cetus Anggajaya tiba-tiba. "Hahahaha! Dasar anak sinting! Dari mana kau bisa menarik kesimpulan seperti itu?"
"Ya, kalau anaknya golongan menak, ayahnya pasti golongan menak juga!"
"Tapi aku bukan ayahmu!" potong gurunya.
"Bukan ayah saya? Katanya, orangtuaku hanya kau satu-satunya, Ki Guru?" kata Anggajaya mengerutkan dahi. "Kau kurawat sejak masih bayi. Kalau aku ini perempuan, boleh dikata aku yang menyusuimu. Itulah mungkin yang menyebabkan aku seperti orangtuamu. Padahal, orangtuamu yang sebenarnya ada di istana raja, anakku!" kata gurunya dan membuat hati Anggajaya terperangah.
"Ki Guru jangan membohongiku. Kalau aku anak bangsawan dan mereka masih tinggal di istana, bagaimana mungkin aku tinggal di tengah hutan begini?" tanya Anggajaya tak senang.
"Itulah yang aku ingin katakan. Makanya kau kupanggil sebab usiamu sudah hampir tujuhbelas," kata gurunya.
Anggajaya duduk setengah gemetar. Dia merasakan bahwa akan ada rahasia yang membuat dirinya sadar akan sesuatu. "Ini adalah rahasia yang belasan tahun kupendam. Tadinya akan kupendam selama-lamanya. Namun bila demikian halnya, sama saja aku melindungi kebusukan dan membiarkan kejahatan berlangsung berlarut-larut," kata gurunya.
Anggajaya hanya menatap tajam kendati telinganya terpusat erat ke arah suara yang keluar dari mulut gurunya. "Belasan tahun silam sorang istri pejabat istana melahirkan bayi kembar. Namun wanita malang itu tak disukai kehadirannya. Ini gara-gara godaan seorang selir yang menginginkan posisinya lebih baik dan bisa menggantikan wanita malang itu ... " kata guru Anggajaya. "Teruskan, Ki Guru ..."
"Suatu malam, bayi kembar hilang satu. Maka di puri kediaman pejabat itu timbul geger. Sang ibu tentu merasa resah dan kehilangan. Hingga suatu saat, pikirannya goncang dan terganggu. Ibu malang itu menjadi gila ..."
"Lantas ..?"
"Ya, suami mana yang senang memiliki istri gila. Kedudukannya kemudian tergeser oleh sang selir..." Anggajaya masih mendengarkan cerita gurunya dengan penuh minat. "Tak diketahui secara pasti, di mana wanita malang itu tinggal. Namun sejak saat itu, dia tidak pernah muncul di muka umum. Orang pun hampir melupakannya setelah sang selir menjadi penguasa tunggal di puri pejabat itu. Demikian hingga kini," kata guru Anggajaya.
"Lantas, nasib bayi kembar itu bagaimana?" tanya Anggajaya. "Hanya akulah yang mengetahui dengan pasti, bahwa ini semua adalah perbuatan sang selir. Salah satu dari bayi kembar itu rencananya akan dibunuh. Sang selir mengutus seorang kerabatnya yang pejabat juga. Aku rebut bayi itu dan aku bunuh pejabat itu.
“Aku melarikan diri membawa bayi itu."
“Pasti saya!” celetuk Anggajaya. Dan gurunya hanya mengangguk. "Sialan sekali. Mengapa di pusat istana ada kejahatan. Kalau orang-orang yang musti jadi contoh tauladan perilakunya sudah tak mengindahkan kebenaran, bagaimana bisa mereka jadi panutan rakyat kebanyakan?" kata Anggajaya malah jadi memikirkan orang banyak ketimbang nasib dirinya sendiri.
Ketika mendengar ocehan Anggajaya, gurunya menjadi heran sampai mulutnya melongo.

"Ada apa, Ki Guru ...?"
"Kenapa kau tak terkejut dengan berita ini?" tanya gurunya.
"Lho, saya barusan marah, sebab pejabat jahat seperti itu hanya membuat rakyat kecewa saja. Tidakkah dia ditegor oleh atasannya, Ki Guru?" tanya Anggajaya.
Namun gurunya masih tetap melongo.
"Tidakkah engkau tertarik akan masa lalumu, Angga? Bukankah aku ini sebenarnya tengah membicarakan rahasia hidupmu?" tanya gurunya masih tak percaya akan sikap Anggajaya.
Ditanya seperti ini, Anggajaya membuang wajahnya. Namun sebenarnya oleh gurunya sudah terlihat ada butiran air mata meleleh turun di pipinya.
"Kau ingin menyembunyikan perasaanmu, Angga?"
"Tidak. Perasaan saya tetap bahagia, sebab memiliki orangtua sepertimu, Ki Guru ..." kata Anggajaya.
"Riwayat hidupmu menyakitkan, Angga ..."
"Ya, kalau saya tak memilikimu, Ki Guru ..."
"Maksudmu, kau tak mau mengakui ayahandamu yang kini jadi pejabat penting di istana Pakuan?" tanya gurunya.
Anggajaya hanya diam membisu.
"Kau juga tidak mau bertemu dengan saudara kembarmu di istana?" tanya lagi gurunya. Untuk kedua kalinya, Anggajaya diam membisu.
"Yang saya inginkan, saya hanya ingin tahu, siapa Ki Guru ini sebenarnya ..." kata Anggajaya setelah lama terdiam.
"Ya, aku ini orangtua angkatmu yang sejak kau bayi aku urus di hutan ini. Belakangan hadir Ki Kahpi yang entah datang dari mana tapi kita tahu dia amat setia kepada kita. Itu saja," kata gurunya.
"Katamu, saya tak boleh tahu siapa engkau sebenarnya. Sekarang saya sudah dewasa dan sudah bisa mengerti akan baik buruknya kehidupan. Maka sekarang Ki Guru harus bisa mempercayai saya ..." kata Anggajaya.
Mendengar permintaan ini, gurunya menghela napas.
"Baiklah kalau begitu. Namun sesudah aku bicara, penilaiannya terserah kau."
"Baiklah Ki Guru ...." jawab Anggajaya dengan penuh harap.
"Aku adalah musuh ayahandamu ..."
"Musuh? Mengapa Ki Guru tinggal di istana. Biasanya musuh ada di luar istana dan kerjanya menyerang, Ki Guru ..." kata Anggajaya tanpa ingin tahu mengapa gurunya memusuhi ayahnya.
"Pertanyaanmu belum lengkap, Angga ..." kata gurunya dengan mimik heran.
"Pertanyaan apa yang musti saya ajukan, Ki Guru?"
"Kau belum bertanya, mengapa aku memusuhi ayahmu?" tanya Ki Guru.
"Yang saya ingin dapat jawaban adalah, siapa Ki Guru ini sebenarnya dan mengapa berada di istana Pakuan?" tanya Anggajaya menolak mengajukan pertanyaan yang diminta gurunya.
"Aku adalah pejabat istana juga. Aku dulu adalah Hulu Jurit Pasukan Balamati ..." kata gurunya.
"Hulu Jurit Pasukan Balamati?"
"Hulu Jurit adalah semacam pemimpin perjurit. Pasukan Balamati adalah sebuah pasukan hebat berjumlah seribu orang. Tugasnya menjaga keamanan istana dan keselamatan Raja serta pejabat dan kerabatnya ..." kata guru Anggajaya.
Setelah mendengar penjelasan gurunya, baru Anggajaya terhenyak dari duduknya.
"Engkau adalah pejabat tinggi, Ki Guru. Mengapa kini memilih sembunyi di hutan lebat di tepian dusun terpencil?" tanya Anggajaya penuh minat.
"Ya, karena aku bermusuhan dengan ayahmu dan aku pun tak disukai Raja ... " kata guru Anggajaya.
"Aneh, orang sebaikmu tak disukai. Ada apakah sebenarnya di istana ketika itu, Ki Guru?" tanya Anggajaya.
"Semua terjadi karena ambisi juga. Kangjeng Prabu Surawisesa itu punya ambisi besar agar kemampuan dirinya tidak berada di bawah ayahandanya Kangjeng Prabu Sri Baduga Maharaja. Namun dalam kenyataannya, Sang Prabu Surawisesa tidak bisa mempertahankan kebesaran negri seperti ketika dipegang oleh ayahandanya.
Banyak negri bawahan memberontak. Setiap pemberontakan, selalu ditumpas melalui peperangan. Aku sebagai Hulu Jurit, kendati pengabdianku berada di pusat pertahanan, namun aku tak gemar berperang. Perang selalu membuat kehancuran dan kerugian. Tidak saja bagi pihak yang diserang namun juga bagi pihak yang menyerang."
"Memang pasti akan begitu, Ki Guru ..."
"Nah, oleh sebab itulah aku benci peperangan ..." potong gurunya.
Mendengar ini Anggajaya terkekeh, sehingga mengherankan gurunya.

<< --- >>