KOTAPakuan 1526
Hari ini di dayo atau (kota) suasana amatlah ramainya.Penduduk di wilayah jawi khita (benteng luar) terlihat banyak orang hilir-mudik. Semakin mendekati alun-alun utara, semakin terasa keramaian itu.
Di tepi-tepi alun-alun misalnya, sepagi itu sudah banyak pedagang menjajakan bermacam-macam dagangan. Adayang menjajakan alat pertanian seperti cikrak, balincong, parang atau pun garu dan cangkul. Adajuga yang menjajakan alat berburu seperti katapel, pitapak, tombak dan galah.
Biasanya para orang tua banyak berkerumun di tempat jualan alat pertanian.Sementara para pemudanya banyak mendekati pedagang alat berburu atau bahkan alat kewiraan seperti golok, tombak, trisula, atau pun pedang walau pun kualitas dan buatannya amat sederhana.
Sementara kaum perempuan banyak melihat-lihat jajaan berbagai jenis alat kecantikan dan pakaian.
Kendati orang Pajajaran waktu itu belum membuat sendiri kain halus seperti sutra misalnya, namun di hari itu para saudagar kain ada juga yang menjual barang-barang halus itu.
"Ayo kapan lagi dapatkan barang halus buatan Nagri Parasi. Ayo, bisa ditukar dengan barang-barang buatan pedalaman!" teriak pedagang kain dengan semangat.
Melihat tampang dan gaya pakaiannya, saudagar kain itu jelas bukan orang Pajajaran. Hidungnya yang mancung serta matanya yang bulat serta rambutnya yang berombak tertutup sorban, hanya mengingatkan penduduk Pakuan bahwa penjual kain halus itu berbangsa Turki atau India.
Orang Pakuan sebetulnya sudah tak perlu heran. Pelabuhan Sunda Kalapa yang terletak di muara Sungai Ciliwung adalah pelabuhan dagang internasional yang kerap kali didatangi oleh kaum pedagang dari berbagai bangsa, baik dari daratan Asia maupun dari daratan Eropa seperti Portugis misalnya. Namun yang membuat heran mereka, ada keberanian khusus yang dilakukan pedagang berhidung mancung dan bersorban ini. Bila dia datang datang dari Gujarat, maka penduduk Pakuan cukup untuk mengangkat jempol sebagai pertanda pujian bagi saudagar Gujarat.
Mengapa demikian, sebab penduduk Pakuan tahu kalau pemerintah Pajajaran, terutama yang berkuasa di ibukota Pakuan, sebetulnya tidak memberikan keleluasaan bagi pedagang dari Gujarat untuk berdagang di pelabuhan-pelabuhan penting milik Pajajaran. Hal ini terjadi karena penguasa Pajajaran hari-hari belakangan ini tengah menjalin kerjasama dagang dengan bangsa Portugis. Bangsa Portugis akan mengirimkan berbagai barang keperluan Pajajaran asalkan diberi keleluasaan berdagang di wilayah Pajajaran. Sebagai tambahan dari perjanjian itu, pihak Pajajaran harus membatasi para pedagang muslim dari Gujarat untuk datang ke wilayah Pajajaran.
Karena perjanjian ini dianggap menguntungkan Pajajaran, maka pihak penguasa Pajajaran menyetujuinya.
Maka alangkah ganjilnya bila di hari keramaian seperti ini, terlihat ada pedagang dari Gujarat ikut menjajakan jualannya di tepiah alun-alun Kota Pakuan.
"Ah, sekali ini mungkin mereka diperbolehkan sebab ini adalah hari-hari khusus ..." tutur seorang penduduk kepada temannya.
Hari-hari khusus yang dimaksud, karena hari-hari belakangan ini Kota Pakuan tengah memperingati Hari Kuwerabakti. Kuwerabakti adalah hari persembahan. Setahun sekali, seluruh negri bawahan Pajajaran datang mengunjungi Pakuan untuk mengirimkan seba atau pajak tahunan. Negri yang subur lahan huma, mengirimkan seba berbentuk beras. Negri yang subur ladangnya, memberikan hasil ladang seperti umbi-umbian dan kacang-kacangan. Demikian pula yang subur hasil ikannya memberikan seba hasil ikan.
Hanya dalam tahun-tahun terakhir ini Negri Cirebon diisukan menghentikan kiriman sebanya. Kalau benar begitu, maka bisa diduga, di hari Kuwerabakti yang akan berlangsung 40 hari 40 malam itu bakal kehilangan seba terasi dan petis sebab selama ini Negri Cirebon selalu mengirimkan seba terasi dan petis. Kedua jenis makanan itu amat disukai orang-orang pedalaman. Maka kalau Cirebon benar tak akan mengirimkan terasi dan petis, maka penduduk pedalaman akan kelabakan.
"Sebetulnya pedagang dari Gujarat itu perlu dicurigai juga. Jangan-jangan dia hanyalah seorang mata-mata yang diutus penguasa Cirebon ... " tutur seorang perjurit Pakuan kepada temannya.
"Mengapa begitu, Ki Silah (saudara)?" tanya temannya.
"Para pedagang muslim itu lebih dekat kepada Cirebon ketimbang kepada Pajajaran. Sekarang orang tengah menduga kalau Cirebon akan memisahkan diri dari Pajajaran. Maka siapa tahu kalau pedagang Gujarat itu bekerja untuk kepentingan Cirebon?"
"Bisa jadi..." temannya mengangguk-angguk sambil memperhatikan gerak-gerik pedagang bersorban itu. Namun sampai senja berganti, tak ada kelakuan mencurigakan. Pedagang bersorban berhidung mancung itu kerjanya hanya berteriak atau melayani pembeli saja. Lain dari pada itu, boleh dikata tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Senja telah berhanti menjadi malam. Tapi keramaian bukannya surut, melainkan semakin bertambah-tambah juga. Banyak damar sewu (obor terbuat dari bumbung bambu kecil, berjajar memanjang) dipasang di sepanjang jalan membuat suasana tambah semarak. Sementara di tengah alun-alun terpasang sebuah panggung kayu yang dikelilingi oncor (obor besar).
Siapa prepantun (juru pantun) yang akan mentas malam ini, Ki Silah?" tanya seorang lelaki berusia setengah baya memakai ikat kepala hitam gaya lohen.
"Khabarnya Ki Cilong, Mamang ..." jawab lelaki lebih muda.
"Wah, Ki Cilong adalah prepantun paling hebat di Pakuan," puji lelaki berlohen itu bertepuk tangan.
Beberapa orang lainnya sama menyambut gembira sebab Ki Cilong memang juru pantun terhebat di Pakuan. Pantun adalah sebuah seni bercerita khas Pajajaran. Cerita itu dilantunkan melalui bunyi lagu-lagu merdu, diiringi petikan dawai-dawai kecapi. Cerita kebanyakan menggambarkan kisah-kisah kepahlawanan para ksatria Pajajaran atau ksatria-ksatria Kerajaan Sunda lainnya jauh sebelum Pajajaran berdiri. Penduduk Pakuan sudah mengenal cerita seperti Lutung Kasarung Guruminda, misalnya. Mereka pun sudah akrab dengan cerita pantun seperti Ciung Wanara atau Riwayat Sangkuriang. Namun dalam peringatan Kuwerabakti ini, diterima khabar kalau Ki Cilong akan melantunkan cerita Langlayang Salaka Domas. Cerita ini menggambarkan kepahlawanan Sang Prabu Mundinglaya Dikusumah. Siapakah Mundinglaya Dikusumah? Tiada lain, beliau adalah Raja Pajajaran yang kini tengah berkuasa. Prabu Mundinglaya Dikusumah adalah julukan pujian kepada ksatria itu sebab nama sebenarnya adalah Surawisesa atau juga dikenal sebagai Ratu Sangiang.
Selama Sang Prabu Surawisesa berkuasa (1522-1535), maka setiap tahun di hari perayaan Kuwerabakti, seperti sudah jadi kewajiban Ki Juru Pantun untuk melantunkan cerita pujian kepahlawaan Prabu Surawisesa yang berjuluk Sang Mundinglaya Dikusumah ini.
Dikisahkan dalam cerita pantun, bahwa Sang Surawisesa ketika mudanya ditugaskan oleh ayahandanya Sang Prabu Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal sebagai Prabu Siliwangi untuk mencari tumbal negri. Tumbal negri itu bernama Langlayang Salaka Domas yang dijaga oleh Guriang Tujuh. Bila berhasil membawa pusaka tumbal negri, maka Surawisesa lulus dan berhak menjadi raja pengganti Prabu Siliwangi. Untuk bisa membawa pusaka itu, banyak perjuangan dan penderitaan musti ditempuh. Tetapi sebagai seorang ksatria yang sakti mandraguna, maka Langlayang Salaka Domas berhasil diraihnya. Begitulah inti cerita.
<< --- >>