Sabtu, 06 November 2010

Senja di Kereta Senja

Cerpen Sungging Raga

Senja terlihat dari dalam kereta Senja, warna merah menyala seakan ikut bergerak seiring putaran roda besi, warna merah itu merayap di kaca jendela yang berdebu. Sebagian penumpang kereta merasa silau, dan penumpang yang merasa silau itu kemudian bergegas untuk menghamparkan koran, menutupi kaca jendela. Kereta Senja itu adalah kereta ekonomi, dan yang namanya kereta ekonomi pasti tidak punya tirai seperti kereta eksekutif, karena itulah, para penumpang tak bisa berlindung begitu saja dari sengatan senja, maka ketika senja tiba, mereka yang tidak suka senja hanya bisa menghamparkan koran atau jaket atau apa saja untuk menutupi jendela kereta, mereka enggan disengat senja. Ah, apakah senja memang menyengat? Seperti lebah? Seperti ubur-ubur? Seperti belut di dalam sungai yang dekat dengan sawah-sawah itu? Hmm… Seperti apa rasanya sengatan senja?
Mungkin senja memang sesuatu yang menyengat, tetapi tidak selalu menyengat, sebab senja adalah keindahan yang sebentar, ia hanya muncul sebentar karena sesaat lagi ia akan menyengat dirinya sendiri sampai padam, sampai datang malam dan datang bulan dan datang hujan bintang-bintang. Senja seperti maut yang membunuh dirinya sendiri. Sengatan senja adalah sengat untuk darahnya sendiri, yang bagi sebagian manusia adalah keindahan tersendiri, darah senja adalah darah merah yang dilemparkan matahari. Karena itulah, sebagian penumpang yang mencintai senja justru amat berbahagia, sebab amat jarang sebuah kereta menyajikan pemandangan senja yang sempurna, sebab kereta lebih suka menelusup di antara bukit-bukit terjal, pepohonan kering yang menunggu kepulangan cuaca, melewati terowongan gelap yang penuh hantu, menebas kota demi kota yang menyiratkan aroma panas lewat pantulan matahari pada gedung-gedungnya. Amat jarang kereta melewati hamparan sawah yang luas, yang bisa meluaskan pula pandangan mata hingga ke lengkung langit. Kalau pun sore tiba dan kereta melewati hamparan sawah yang luas, biasanya langit suka mendung semendung-mendungnya, tak ada kesempatan untuk melihat senja, senja kemudian seperti menjadi sesuatu yang langka dan nyaris tidak mungkin ada, meski begitu, banyak sekali kereta yang dinamakan sebagai kereta senja, sekaligus nama kotanya, Senja Semarang, Senja Solo, Senja Kediri, padahal belum tentu di kota itu bisa terlihat senja, belum tentu kereta itu bisa menampilkan pemandangan senja, atau kereta itu sendiri yang menjadi senja untuk para penumpangnya. Tidak, kereta hanya bisa bergerak di waktu senja, tanpa harus menyajikan senja. Kalau pun langit tidak mendung dan kereta tidak melewati bukit-bukit, belum tentu juga senja bisa dinikmati dengan sempurna, sebab kereta harus selalu mengikuti rel yang berbelok, tidak bisa selalu lurus. Jadi, jika sekarang senja ada di samping kanan kereta, bisa saja beberapa detik kemudian senja sudah tak terlihat, sebab kereta berbelok ke kanan, menuju senja. Karena itu, penumpang kereta yang paham akan keindaan senja tentu amat bersyukur bisa melihat senja seperti sekarang ini. Sungguh sempurna, kereta tidak sedang berbelok, rel lurus saja seperti garis cakrawala yang berpijar merah kuning emas dan jingga.
Dari balik jendela kereta, sinar senja berhasil menguasai setiap mata yang takjub, mata yang pasti kelelahan melihat debu-debu perjalanan. Tetapi, dari penumpang yang takjub itu, tentu ada juga yang belum pernah melihat senja, jadi mereka merasa heran saja dengan garis merah di langit, dengan matahari sebagai sumbunya. Dari penumpang yang belum pernah melihat senja itu, tentu ada juga yang baru pertama kali naik kereta. Mereka akan merasa heran mengapa kereta yang mereka naiki dinamakan kereta senja. Dan semua jawaban akan muncul di saat senja.
“Aku suka naik kereta senja, rasanya seperti naik senja itu sendiri.” Kata seorang penumpang perempuan, entah kepada siapa.
“Aku suka karena waktunya pas, tiba di tujuan besok pagi, bisa langsung bekerja.” Tiba-tiba seorang pemuda menimpali, ia berkata sambil mengunyah permen karet.
“Kalau saya, saya rutinh naik kereta senja seminggu sekali, karena senang membayangkan kereta ini sedang menuju senja.” Ucap seorang bapak yang tadinya sibuk membaca koran penuh huruf-huruf besar.
Para penumpang bercakap-cakap tentang senja, seolah mereka diam-diam punya keinginan untuk bercakap-cakap langsung dengan senja, untuk saling berebut menguak misteri keindahannya.
Kereta kali ini bergerak sedikit lebih pelan, mungkin akan berhenti. Langit pun seakan tak mau bergeser, matahari seakan enggan berpendar, tenggelam di rahim langit yang berupa cakrawala. Senja masih tampak sempurna. Apakah kereta ini memang sedang bersiap untuk menuju senja? Apakah ini sebuah wisata untuk menguak senja? Menguliti tubuh senja? Apakah kereta ini sedang menuju senja yang suka dibuat oleh Seno Gumira dalam cerpen-cerpennya? Apakah senja benar-benar punya sebuah negeri yang dinamakan Negeri Senja? Semua pertanyaan semacam itu terkadang membelit, membuat orang harus berpikir bahkan ketika hendak menuliskan sebuah keindahan, jangan-jangan sudah ada yang berhak atas seluruh senja, sehingga tidak boleh melakukan plagiat atas keindahan senja. Alangkah kasihannya senja kalau ia telah diidentikkan kepada orang tertentu saja.
Kereta benar-benar berhenti, udara pengap. Tak terasa, senja pun selesai mendekap, sebuah dekapan yang rapuh dan pasrah. Sekarang malam mulai padat merayap, para penumpang sudah lupa akan kenikmatan melihat senja. Mereka sibuk mendiamkan malam yang datang diam-diam, malam yang suka bermalam di ruang tubuhnya sendiri. Penumpang berganti kegiatan, ada yang sibuk membaca di bawah lampu gerbong yang cukup terang, ada yang sibuk mengirim sms, ada yang sibuk membuat puisi, sibuk melamun, sibuk menumpahkan botol minuman. Sibuk segalanya. Hidup adalah kesibukan mempekerjakan organ tubuh. Tetapi senja masih terlihat begitu tipis, setipis angan-angan, setipis kota tujuan dari sebuah perjalanan panjang.
KA Senja Gulita tunggu disusul KA Anggrek Malam.” Begitu suara yang muncul dari pengeras suara. Ternyata kereta Senja masih harus berhenti agak lama di stasiun yang entah di mana. Tetapi itu wajar. Namanya juga kereta ekonomi Senja, wajib hukumnya untuk terlambat.
“Anggrek Malam? Itu kereta eksekutif ya?” Tanya salah seorang penumpang.
“Iya. Sepertinya kita disalip.”
“Anggrek Malam… Hmm… Kok namanya seram?”
“Ya tidak tahu.”
Malam mulai mengeras. Apakah esok sore para penumpang itu masih sempat melihat senja yang lengkap? Cukup lama menunggu, mereka baru saja hendak tertidur, ketika tiba-tiba terdengar lengking jeritan, ketika tiba-tiba terdengar sebuah hantaman keras…
***
Kereta Senja mungkin akan selalu terlambat. Tetapi senja seperti telah memberi sepenggal isyarat:
Kereta Maut selalu berangkat tepat.***    
Dimuat di Minggu Pagi 10/31/2010