Cerpen Rama Dira J
Lelaki Muda itu melangkah tertatih-tatih, menggendong tubuh seorang perempuan.
Senja itu, kala menyusuri jalan setapak sepulangnya dari berburu kijang, di kejauhan Lelaki Muda melihat dua ekor babi mengendus-endus membaui sesosok tubuh perempuan yang hanya mengenakan kemban, hingga ia bergegas mendekat kemudian melemparkan sepotong kayu untuk mengusir, tapi dua babi itu tidak merasa terusir, malah menantang dengan lagak bersiap-siap menyerang, membuat Lelaki Muda segera melepas dua anak panah beracun secara bersamaan dan menancaplah pada kedua-duanya yang mati seketika itu juga.
Lelaki Muda bergegas mendapati tubuh Perempuan Cantik yang membujur terlentang, tidak dengan luka, tidak dengan darah, tidak dengan bekas luka, tidak dengan bekas darah.
Kini malam turun perlahan dan hutan semakin terlelap dalam gelap. Ia baringkan perempuan itu pada lantai kayu jabuk di sebuah gubuk tua milik seorang petapa yang tiba-tiba lenyap setelah sepuluh tahun menempatinya.
Lelaki Muda memperhatikan dengan saksama perempuan itu. Ia sadar, memang dia memiliki daya tarik yang sulit diperbandingkan. Lihatlah, meski sedang lelap dalam tidur dia masih bisa menyenyumkan bibir dengan anggun. Rambut panjangnya yang wangi, begitu legam. Matanya yang berpejam itu, alisnya yang seperti goresan pelukis itu, lehernya yang jenjang itu, dan Lelaki Muda pun membenak, “Ingin kulumat bibirmu, kukecup matamu, kubaui lehermu hingga kumiliki semua keindahan yang ada padamu.” Tapi, siapakah sesungguhnya Perempuan Cantik dengan segenap keindahannya ini?
Lelaki Muda masih duduk terpekur dalam bimbang di hadapan makhluk yang sesempurna itu. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup gila hingga sempat membuat napasnya tak teratur untuk beberapa saat lamanya. Inilah kali pertama ia menemukan sesosok perempuan yang secantik ini. Apakah dia seorang dewi yang sengaja turun ke bumi setelah merasa bosan hidup di kayangan?
Malam kini benar-benar malam. Hutan dan malam menjadikan semuanya legam. Sulit bagi Lelaki Muda menemukan jalan pulang. Kalau pun pulang, Emak akan memarahi dan menuduhnya telah mencuri istri orang dari desa lain. Jika ditinggalkan begitu saja di tempat ini, hanya laki-laki bodoh yang akan melakukannya. Jadi, apa yang akan aku lakukan?
Semakin bergemuruh darah dalam tubuh Lelaki Muda kala memandang Perempuan Cantik yang seperti mati ini. Begitu cepat ia mencintai, ingin memiliki tapi ia belum mengatakan apa-apa, sebab dia masih saja terlelap.
“Bangunlah, wahai perempuan....”, bisik Lelaki Muda pada kedua telinga perempuan itu berganti-ganti. Dia tetap tidak bereaksi seolah berpejam untuk selamanya. Lelaki Muda terus mengulang-ulang bisikannya itu berganti-ganti pada telinga kanan, telinga kiri. “Bangunlah wahai perempuan.”
Beberapa lama kemudian, usaha gigihnya membuahkan hasil. Perempuan itu mendadak sadar dan bertanya : “Engkaukah itu, engkaukah itu?” Karena begitu terkejutnya, Lelaki Muda tak sadar kalau tubuhnya telah beringsut menghindar ke pojok lain. Sementara itu, mata indah Perempuan Cantik semakin liar, mencari-cari : “Dimana engkau, dimana engkau?” Lelaki Muda merasakan kecamuk perasaan dalam dirinya. Perempuan Cantik menghampiri, mendekat dan langsung mendekapkan tubuhnya yang begitu hangat.
Untuk beberapa saat, Lelaki Muda tidak mampu berkata. Ia biarkan perempuan yang semakin melekatkan peluknya itu. “Mengapa kau diam saja suamiku, bicaralah! Aku ketakutan.”
Lelaki Muda akhirnya memaksa untuk bicara perlahan : “Aku bukan suamimu.”
“Apa?” Perempuan Cantik melepaskan pelukan, menggeser bokongnya, beringsut beberapa jarak, mundur. “Siapa kamu?” tanyanya dengan wajah ketakutan.
“Aku pemuda desa dekat sini, aku bukan suamimu. Aku tidak sengaja menemukanmu di tengah hutan senja tadi. Kau tidak sadarkan diri. Dua ekor babi sempat mengendus-endus tubuhmu.” Perempuan Cantik mengerutkan dahi, belum puas dengan penjelasan yang disodorkan Lelaki Muda.
“Mengapa aku berada di dalam hutan ini?”
“Entahlah! Cobalah mengingat-ingat lagi apa yang telah kau alami.” Perempuan Cantik meneliti sekujur badannya. Dia gosok-gosokan kedua tapak tangan pada lengan, pada kedua pipi, lantas menggeleng-gelengkan kepala.
“Kau tak ingat, apa yang kau alami sebelum berada di hutan ini?”
Perempuan Cantik mengangguk membenarkan.
“Bagaimana dengan suamimu?”
Air mukanya berubah setelah mendengar pertanyaan itu. “Aku baru saja bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki. Dalam mimpiku itu ia mengaku bahwa ialah laki-lakiku, suamiku.”
“Pernahkah kau bertemu dengan laki-laki itu sebelumnya?”
“Tidak, tidak! Meskipun mungkin aku pernah bertemu dengannya, aku tidak akan ingat, sebab tak ada siapa-siapa dari masa lalu yang bisa kuingat.”
Lelaki Muda semakin kebingungan dengan misteri yang tengah menimpa Perempuan Cantik. Sementara itu, di luar, angin bertiup makin kencang. Hujan tiba-tiba jatuh tanpa ampun. Tempiasnya membasahi mereka berdua sebab atap rumbia gubuk itu tak lagi penuh menutupi. Lelaki Muda cepat-cepat menepikan Perempuan Cantik pada sudut lain yang belum basah. Ia memanjat, kemudian menyelipkan beberapa kulit kayu lebar pada sela-sela atap untuk menghentikan rembesan air di sudut itu. Sebagai alas tidur Perempuan Cantik, ia berikan karung goni yang biasa dipakainya untuk menyimpan perbekalan.
“Tidurlah dulu. Besok pagi barulah kita mencari dimana tempat asalmu” ujar Lelaki Muda setengah berteriak karena deras hujan yang tunggal nada itu membenamkan suaranya, hingga sulit untuk terdengar. Perempuan Cantik pun berbaring dan Lelaki Muda terpaksa berbaring sendiri pada sudut lain yang basah oleh hujan. Tangan kanannya ia jadikan sebagai pengganjal kepala, wajahnya ia hadapkan pada dinding. Ia sebenarnya belum mengantuk, masih besar keinginan untuk bercakap-cakap dengan perempuan misterius itu. Tapi sekai lagi hujanlah yang menggagalkan keinginannnya itu. ‘Hujan, berhentilah’ . Ia berbisik, memohon pada hujan. Hujan tak peduli.
Ia tidak tahu apakah Perempuan Cantik sudah berpejam atau masih jaga. ‘Hari esok, cepatlah datang’, pintanya lagi, entah pada siapa.
Hujan makin deras. Petir dan guntur mengajaknya berpesta pora. Tiba-tiba Lelaki Muda merasakan belaian tangan pada punggungnya. Ia membalik badan, ternyata Perempuan Cantik yang melakukan itu. “Mengapa?” tanyanya.
“Aku takut sendirian di sudut itu.” Tergetar juga ia mendengar suara manja Si Perempuan Cantik. Ia tak tahu apakah dia benar-benar ketakutan atau ada maksud lain?
“Tapi di sini basah.”
“Tidak apa-apa.”
“Kita pindah ke sudut yang tidak basah itu saja.”
“Tidak, di sini saja”
“Tapi di sini basah.”
“Tidak apa-apa.”
Ia pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi ketika Perempuan Cantik telah berbaring di sampingnya. Wajahnya terpaksa kembali ia hadapkan ke arah dinding. Napas Perempuan Cantik ia rasakan membelai-belai pada tengkuknya.
“Kau sudah tidur?” Perempuan Cantik tiba-tiba bertanya. Ada nada aneh pada suaranya itu. Lelaki Muda diam, berpura-pura telah terlelap. “Aku tahu engkau belum tidur.” Lelaki Muda tetap diam.
“Sebenarnya, laki-laki yang aku mimpikan tadi itu tidak lain adalah kamu!” bisik perempuan itu pada kuping Lelaki Muda. Lelaki Muda langsung terduduk dari tidur semunya, membelalakkan mata, “Benarkah?”
“Ya, wajahmu dari dalam mimpi itu masih lekat dalam ingatanku. Itulah kamu. Kamulah suamiku.” Mendengar itu, Lelaki Muda membeku. Ia tak segera percaya dengan apa yang dikatakan Perempuan Cantik yang masih jadi sosok misterius itu.
Apa sesungguhnya yang terjadi? Bukankah sebuah keajaiban menemukan Perempuan Cantik tak dikenal yang kemudian menjadikanmu sebagai suaminya?
Tanpa berpikir jauh lagi, Lelaki Muda menerima saja perlakukan Perempuan Cantik. Mereka terus beradu, melebur dalam satu napas dalam guyuran hujan.
***
Malam hilang sempurna. Suara-suara alam menyatu dalam bisikan-bisikan hembusan angin pertama, menjadikan pagi begitu cerah penuh warna. Lelaki Muda membuka mata, Perempuan Cantik masih dalam pelukannya. “Engkau akan menjadi milikku selamanya”, bisiknya pada perempuan yang tersenyum bahagia dalam pejamnya itu.
Di luar gubuk, tiba-tiba saja ia dengar suara ramai milik sekelompok orang yang makin mendekat. Ia tidak lekas bangun sebab pelukan Perempuan Cantik begitu lekat. Pintu gubuk itu tiba-tiba telah terbuka setelah ditendang paksa.
“Benar! Istrimu ada di sini.” ujar seseorang pada salah seorang temannya. Mereka semua laki-laki. Mereka masuk memenuhi gubuk.
Berhadapan dengan kenyataan itu, Lelaki Muda tidak segera bisa berkata-kata. Sementara itu, Perempuan Cantik tak juga terjaga. Seorang laki-laki yang kelihatannya berusia paling tua dalam rombongan itu maju beberapa langkah, “Kurang ajar! Ternyata kau yang mencuri mayat istriku.” Ia berteriak murka.
Apa? Mayat? Lelaki Muda semakin gusar setelah mendengar perkataan itu. Ingin ia berlari tapi orang-orang itu telah mengurungnya. “Aku tidak mencurinya. Aku menemukannya..” Terbata-bata ia membela diri.
“Bunuh saja! Bunuh! Bunuh!!!”. Orang-orang berteriak.
Laki-laki yang mengaku sebagai suami Perempuan Cantik itu pun kalap. Ia hujamkan mandaunya pada Lelaki Muda.
Sebelum mengembuskan napas penghabisan, Lelaki Muda masih diliputi misteri : siapakah sesungguhnya Perempuan Cantik yang begitu mencintainya semalam? ***
Catatan : Cerpen ini adalah versi lain dari Milik Siapakah Sesungguhnya Si Cantik dengan Segenap Keindahannya Ini?
Dimuat di Berita Pagi 06/06/2010