Penunggang Kuda Dari Timur
Merah rona matahari di ufuk barat semakin lama semakin menebal warnanya. Namun sebelum bulatan raksasa jatuh terbenam di balik rimbunan pohon beringin, seorang penunggang kuda sudah tiba di lawang seketeng (gerbang) dayo (ibukota) Pakuan.
Mulut kuda mendengus-dengus dan nampak uap putih mengepul dari hidungnya manakala secara serentak yang sang penunggang menarik ketat tali kekangnnya.
“Bukakan gerbang!” teriaknya ketika dilihatnya pintu gerbang kota yang terbuat dari papan jati tebal itu segera ditutup para jagabaya.
“Tidak tahukah Ki Silah, kentongan telah ditabuh dan kulit tiram sudah ditiup?” teriak pula seorang jagabaya sedikit melongokkan kepalanya dari sela-sela kedua ujung daun pintu raksasa.
“Aku tahu, tanda kota segera tertutup untuk orang luar. Tapi tak tahukah kalian siapa yang datang?” dengan sedikit kesal sang penunggang kuda balik berteriak.
Sang jagabaya mencoba meneliti penunggang kuda itu. Sudah remang-remang memang, tapi cahaya temaram dari bayangan lembayung masih sanggup menerangi wajah pendatang itu.
Dia yang duduk setengah membungkuk di atas pelana kuda hitam itu sepertinya seorang
prajurit biasa bila menilik kepada pakaiannya. Dadanya yang bidang tak menggunakan baju, kecuali penutup dada dari beludru hitam jenis kasar. Sepasang pergelangan tangannya bergelang logam perak. Dia menggunakan celana sontog (celana sebatas lutut) juga terbuat dari kain beludru hitam jenis kasar. Rambutnya digelung ke atas dan diikat kain warna nila.
Jagabaya menaksir, prajurit berkuda itu masih muda, paling berusia duapuluh tahun. Hanya
karena ada cambang bauk saja maka pemuda itu seperti usia tigapuluh tahun.
“Melihat pakaianmu Ki Silah (saudara) tentu parjuirit Pajajaran. Tapi peraturan menentukan, lawang seketeng harus ditutup di saat matahari terbenam!” kata sang jagabaya setelah meneliti siapa yang datang.
Kuda melonjak-lonjak ketika tali kekang dihentak penunggangnya. Matahari sudah semakin kelam dan ada banyak binatang kalong terbang melayang ke utara menuju Gunung Salak.
Namun kepulan debu tanah nampak terlihat menebal ketika sepasang kaki depan kuda menghentak-hentak keras.
“Jangan tersinggung Ki Silah, apakah engkau lebih senang melihat prajurit Pakuan melanggar tata-tertib kerajaan?” kata sang jagabaya ketika tahu sang penunggang kuda tersinggung atas penolakannya.
“Aku tahu ikhwal peraturan itu dan seluruh penghuni Pajajaran tabu untuk melanggarnya.
Tapi Ki Silah peraturan tak boleh dilaksanakan kaku. Harap bijaksanalah sedikit,” tutur
penunggang kuda.
“Kebijaksanaan adalah penyelewengan dari sebuah peraturan,” bantah jagabaya.
“Membuat penyelewengan untuk sesuatu kepentingan adalah tindakan tepat, apalagi
menyangkut urusan negara!” jawab prajurit penunggang kuda lagi.
Hening sejenak.
“Bagaimana?” kata jagabaya pada teman-temannya yang lain.
“Coba kau, tanyakan kepentingan apa yang dia katakan ada hubungannya dengan negara itu,”
terdengar seorang jagabaya lain berbicara.
“Tentang apa?”
“Penting sekali. Tetapi hanya bisa disampaikan kepada Pangeran Yogascitra,” jawab
penunggang kuda.
“Dia mengenal Pangeran…” bisik seorang jagabaya di balik gerbang. Kemudian terdengar rundingan-rundingan yang tak bisa didengar penunggang kuda. Namun rupanya rundingan itu
menyangkut disetujui atau tidaknya sang penunggang kuda memasuki lawang seketeng. Tibatiba gerbang berderit. Pintu jati terbuka perlahan dan terkuak kecil tapi cukup dilewati satu penunggang kuda. Si penunggang kuda rupanya mafhum bahwa pada akhirnya dia diizinkan memasuki gerbang dayo (kota).
“Tapi engkau baru bisa menghadap Pangeran Yogascitra esok hari, Ki Silah…” kata seorang jagabaya berdada bidang.
“Di mana aku harus bermalam?” tanya si penunggang kuda sambil sepasang kakinya menjepit perut kuda karena binatang itu nampak selalu gelisah.
“Engkau hanya bisa tinggal di wilayah jawi khita (benteng kota luar),” kata jagabaya menerangkan.
“Engkau akan kami antar ke asrama jagabaya agar keperluan bermalammu bisa kami urus,” kata yang lain. Si penunggang kuda termenung sejenak, namun kemudian dia bergumam,”Biarlah aku bisa mencari penginapan sendiri,” ujarnya.
“Carilah warung-warung nasi di pasar, mereka suka menyediakan tempat menginap juga!” tutur jagabaya. Si penunggang kuda hanya mengangguk pelan, sesudah itu membedal kuda dan berlalu.
“Kuda hitam itu seperti kurang akrab dengan penunggangnya…” gumam seorang jagabaya.
“Barangkali hanya kuda temuan di tengah jalan…” gumam temannya.
Sementara itu si penunggang kuda segera mencongklang kudanya dengan cukup pelan ketika jalanan berbala batu sudah memasuki tempat cukup ramai.
“Barangkali ini yang dinamakan pasar…” gumamnya sendirian.
Si penunggang kuda ini pernah mendengar khabar bahwa Pakuan adalah dayo (ibukota)
Kerajaan Pajajaran paling ramai dan paling besar bila dibandingkan dengan dayo sebelumnya.
Orang-orang Karatuan Talaga atau penduduk Karatuan Sumedanglarang kerapkali bercerita kepadanya, bahwa dayo kerajaan besar bernama Pajajaran kerapkali berpindah-pindah berdasarkan selera penguasa pada waktu itu. Contohnya, Prabu Guru Darmasiksa yang semula berkedudukan di Saunggalah pada tahun 1187 M memindahkan ibukota ke Pakuan, sebuah kota yang sudah ada sejak dulu dan pernah juga dijadikan dayo oleh raja-raja sebelumnya.
Dayo Pakuan didirikan oleh Maharaja Tarusbawa (670 M).
Sambil mencongklang kuda pelan-pelan pemuda bercambang ini meneliti kiri-kanan. Dayo Pakuan memang sebuah kota dengan segala macam kesibukan. Kendati sejak 34 tahun lalu (1527 M) kegiatan ekonomi dengan negri sebrang telah mulai beku karena Pelabuhan Kalapa (Sunda Kalapa) sudah dikuasai Demak dan Cirebon, tapi kegiatan perdagangan di dayo Pakuan masih kelihatan sibuk.
Pemuda itu mendapatkan di beberapa persimpangan jalan berbalay terlihat orang berkerumun.
Mereka mengerumuni kaum pedagang.
Di kerumunan lain penduduk kota tengah memperhatikan pedagang pakaian. Jenis pakaian yang dijual sebenarnya sederhana saja kualitasnya. Hampir semuanya berupa jenis pakaian untuk orang kebanyakan, terbuat dari tenunan kasar seperti gaya anyaman seumat sahurun, anyam cayut, kalangkang ayakan, hujan riris atau pasi-pasi. Yang diperdagangkan adalah cangcut (celana) dan pangadwa (baju) untuk kaum pria, atau sinjang dan samping serta apok dan kutang-kutung untuk wanita. Di sudut jalan yang lain ada pedagang yang khusus menjajakan berbagai jenis ikat pinggang seperti angkin, beubeur, benten atau benting usususus.
Dia sebrang jalan berbalay ada pedagang menjajakan alat pertanian atau berladang seperti parang, congkrang, etem atau arit. Ada yang menjual alat rumah tangga seperti kendi, lodong (tempat mengambil air terbuat dari bambu), bekong (cangkir dari batok kelapa), kowi (cangkir bambu) atau tampekan (tempat sirih). Dan di sudut lain, ada pedagang menggelar alat-alat senjata seperti golok, pedang, abet, pamuk, peso teundeut sampai keris. Yang mengerumuni pedagang senjata, hampir sebagian besar terdiri dari prajurit dan ponggawa.
Ada juga yang berpakaian orang kebanyakan, akan tetapi pemuda itu bisa menduga, mereka adalah ponggawa juga bila melihat tindak-tanduknya.
Sambil melambatnya jalannya kuda, pemuda itu memang banyak menemukan prajurit berkeliaran di jawi khita (benteng kota luar) ini. Menurut orang-orang Sumedanglarang, Pakuan merupakan kota terbesar kedua di Nusantara sesudah Demak. Penduduknya hamper 50.000 jiwa. Namun untuk menjaga keamanan penduduk sejumlah itu, Pakuan melengkapi diri dengan 100.000 prajurit, bahkan diperkuat oleh 1.000 perwira pengawal Raja. Pakuan sejak zamannya Sri Baduga Maharaja perlu memiliki kekuatan militer setelah terjadi permusuhan dengan Cirebon dan Demak. Apalagi sesudah 7 pelabuhan milik Pajajaran direbut mereka. Dan Banten yang semula merupakan pelabuhan kedua terbesar sesudah Sunda Kalapa, sesudah direbut Demak, belakangan bahkan memisahkan diri dari Demak tapi juga sama memusuhi Pakuan. Malah selama bermusuhan dengan negara agama baru, Bantenlah yang paling beringas dalam melakukan serbuan ke Kerajaan Pajajaran hingga ke pusat pemerintahan. Terbukti pada masa pemerintahan Sang Prabu Ratu Dewata (1535-1543 M), serbuan prajurit Banten menusuk hingga ke wilayah jawi khita (kota luar). Di alun-alun benteng luar terjadi pertempuran besar yang menewaskan dua perwira kerajaan paling handal yaitu Tohaan Ratu Sarendet dan Tohaan Ratu Sangiang.
Peristiwa penyerbuan pasukan Banten di zaman Sang Prabu Ratu Dewata menjadi cermin
bagi raja yang menggantikannya, yaitu Sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551 M). Raja Pajajaran keempat yang selalu bertindak keras ini, beranggapan bahwa ayahandanya terlalu lemah dalam memimpin sehingga musuh tidak merasa takut melakukan penyerbuan sampai menusuk pusat pemerintahan. Oleh sebab itu kekuatan militer harus jadi tumpuan utama dalam hal menyusun dan mempertahankan keberadaan negara. Sayang, pembangunan militer yang butuh dana besar ini tidak didukung oleh situasi ekonomi. Karena kegiatan ekonomi antar negri sudah lumpuh, maka untuk memperkuat negri, Sang Prabu Ratu Sakti menarik seba (pajak) tinggi kepada rakyat. Kebijaksanaan ini amat meresahkan rakyat sehingga banyak negara kecil yang semula di bawah naungan Pakuan melakukan pemberontakan.
Celakanya, kebijaksanaan Raja dalam menarik pajak tinggi juga dimangfaatkan oleh beberapa pejabat yang berniat merebut kekuasaan. Pembangunan kekuatan militer yang di beberapa wilayah bahkan dimangfaatkan oleh para pejabat sendiri untuk melakukan perlawanan terhadap Raja. Sebagian tentara yang dibiayai oleh Raja pada akhirnya malah digunakan untuk memberontak terhadap Raja (Baca : “Senja Jatuh di Pajajaran”).
Tahun 1551 M pucuk pemerintahan di ganti oleh Sang Lumahing Majaya atau Nilakendra Tohaan di Majaya. Raja ini diwastu (dilantik) di atas palangka (singgasana khusus untuk melantik raja) dalam usia yang masih amat muda, yaitu sekitar 18 tahun. Bukan berarti dia sudah punya pengalaman utuh dalm memimpin negara, namun regenerasi yang terlalu cepat ini terjadi dalam keterpaksaan. Sang Lumahing Majaya adalah putra terkasih dari banyak putra Sang Prabu Ratu Sakti. Agar tak kesan pergantian kekuasaan dilakukan secara paksa dan berbau pemberontakan, maka pengganti Sang Prabu Ratu Sakti “dipilih”lah putranya sendiri. Padahal para pengamat politik masa itu telah menduga bahwa telah terjadi “pemberontakan halus” terhadap Sang Prabu. Kebijaksanaan Sang Prabu Ratu sakti dalam mengendalikan pemerintahan kurang disenangi banyak pejabat, terutama oleh para pejabat istana jujur dalam membela kepentingan Pakuan. Ketika itu Ratu Sakti mudah terbuai oleh mulut manis dan sebaliknya mudah tersinggung bila menerima panca-parisuda (lima obat penawar = kritik membangun).
Kelemahan raja yang penuh ambisi ini juga selalu bertindak keras kepada rakyat atau kalangan yang dianggap punya kesalahan dan punya kegemaran yang romantis, yaitu amat menyukai kecantikan wanita. Puncak kegelisahan para pejabat bahkan terjadi setelah Sang Prabu melakukan pelanggaran moral yaitu mengawini wanita larangan. Yang dimaksud wanita larangan adalah wanita yang sudah punya tunangan. Dan karena hasrat hatinya dalam memiliki tubuh molek, maka kekuasaannnya sebagai raja dia gunakan untuk meraih apa yang dia inginkan.
Kekacauan di dalam negri kian memuncak disertai beberapa pemberontakan yang dilakukan negara-negara kecil yang semula berada di bawah naungan Pakuan disertai tindakan-tindakan tak terpuji Sang Prabu, maka akhirnya telah terbentuk kesepakatan bersama sesama pejabat istana, mereka mengatakan langsung pada Raja bahwa Raja sudah terlalu lelah memimpin.
Dan di saat suasana genting seperti ini perlu tenaga segar dalam memimpin negara. Para pejabat langsung menyodorkan keinginan, bahwa Sang Lumahing Majaya putra terkasih raja, kendati masih amat muda tapi dinilai mampu menangani dan membenahi negara sampai keberadaannya kembali mencuat ke puncak kebesaran seperti apa yang dicita-citakan Raja.
Inilah sebenarnya taktik menyingkirkan Ratu Sakti yang tidak terkesan berbau pemberontakan. Mengapa mesti disebut pemberontakan? Ini bukan menggeser atau mendepak Raja, tokh yang menggantikannya adalah putranya sendiri. Perpindahan dari Ratu Sakti kepada Sang Lumahing Majaya “tak kurang tak lebih” hanya berupa kejadian alamiah belaka, yaitu estafet tongkat kepemimpinan.
<< >>