Senin, 25 Oktober 2010

Penantian

Cerpen Rama Dira J

 Kubaringkan tubuh telanjangku di atas pasir putih menghadap ke langit, memandang terpana pada bintang-bintang menggelantung yang mengedipkan matanya hingga mirip lampu kecil sampan-sampan nelayan di tengah hamparan biru laut sana. Biasa aku menghabiskan malam seperti ini, menghitung bintang, di bawah kolong rumah makluk-makluk angkasa.

Sampai pada hitungan yang keseratus, biasanya aku sudah tidak ingat apa-apa lagi, kesadaaranku akan menyatu dengan hembusan angin malam yang membawa hantu-hantu laut merasuk ke dalam mimpi-mimpi buruk orang yang terlelap di rumah panggung sepanjang pantai. Tapi kali ini mataku masih jaga, ia tidak mau memejam meski hitunganku sudah mencapai seribu sembilan ratus tiga puluh enam.
Terpaksa aku terus melanjutkan hitunganku. Sampai pada bintang yang kedua ribu tiga ratus lima puluh tiga, aku tersentak saat tidak sengaja mataku menangkap sebentuk rasi bintang yang janggal, jauh di sudut kanan langit. Biasa aku melihat rasi seperti layang-layang, kalajengking ataupun ikan pari. Tapi yang satu ini bentuknya seperti manusia. Ya, persis dua manusia yang sedang menyatukan dua badan. Aku masih menengadah sampai tiba-tiba sepasang bintang dari rasi itu melepaskan diri, berlari melesat cepat turun ke bumi dengan suara berdebum menggelegar setelah menghantam karang di ujung pantai. Aku berlari ke arah jatuhan dua bintang itu.
Aku mengendap-endap dari balik tumpukan karang-karang hitam. Kedua telingaku tiba-tiba menangkap sayup erangan seorang perempuan. Desahan itu semakin jelas saat aku lebih mendekat ke tumpukan karang lain yang paling ujung. Sepasang mataku segera saja terbuka lebar begitu melihat siluet dua anak manusia yang memaksakan dua tubuh tanpa benang mereka merapat menyatu terlentang dengan gerakan-gerakan yang lembut tapi garang.
Dadaku serasa pecah menikmati dua manusia yang benar-benar sedang melebur dalam birahi itu. Kuusap mataku, memperjelas pandang. Ragu aku dengan apa yang tergambar di hadapanku ini karena gelap begitu pekatnya. Benarkah itu dua anak manusia? Setelah tancapan pandang mataku benar-benar fokus, ternyata dua makhluk itu bukanlah manusia. Manusia tidak mungkin punya sepasang sayap. Aku semakin yakin kalau mereka bukanlah anak manusia karena dari pori-pori sepanjang tubuh keduanya tiba-tiba tersemburat sinar tajam yang menyebar ke segala arah. Sinar putih keemasan yang akhirnya membuat sepasang tubuh itu terlihat jelas bergerak lincah dalam gelap. Tidak akan mungkin dari tubuh manusia menyemburat sinar seperti itu. Jadi, siapa mereka? Malaikatkah? Setankah?. “Ah, apa peduli, yang penting ada tontonan gratis.”
Aku tidak bergerak menggeser sedikitpun. Semoga hanya aku manusia yang berada di pantai ini, karena bagaimanapun juga suatu keanehan seperti ini akan terasa nikmat kalau disaksikan sendiri.
Lama dua makhluk itu bergumul di atas kerasnya karang. Mataku masih mengikuti saat si laki-laki mulai mengepakkan sayap kokoh yang tumbuh di tulang belikatnya sambil menggendong si perempuan. Mereka akhirnya terbang ke ujung semesta meninggalkan aku sendiri yang masih duduk terpana.
Kembali aku ke pasir putih pembaringanku. Gambaran yang sempat kurekam belum bisa terhapus hilang. Begitu lekat. Kembali aku berbaring menengadah ke langit, rasi bintang itu sudah tak ada di sana.
Teramat sulit bagiku untuk bisa memejam. Dua orang itu terus menghantui anganku. Untuk mengalihkan, aku menghitung kembali bintang dari awal. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh.....
.................................
KEJADIAN ITU berulang beberapa kali. Tiada siapa pun yang tahu atau kuberitahu dan aku berharap hanya aku saja yang tahu karena peristiwanya terjadi di tempatku, di pantaiku.
Setiap kemunculan mereka ditandai dengan bulan bulat utuh yang tiba-tiba ditabiri awan pekat. Di samping bulan, sekumpulan bintang tersedot ke satu bintang sebagai poros yang sepertinya memiliki daya magnet besar. Kemudian semuanya bersama menyatu membentuk rasi dua tubuh dalam satu bentuk itu.
Aku telah berada di balik karang sebelum kedatangan mereka. Ku waspadakan pasang mataku ke dua tubuh menggeliat itu. Si laki-laki bergerak lebih lincah dari biasanya, membuat si perempuan tidak mau lagi berpejam. Dia membelalak dan mataku tiba-tiba beradu pandang dengan sepasang mata tajamnya. Badanku menggigil. “Gawat!!! Dia tahu aku di sini...”, batinku.
Saking paniknya, tidak mampu aku menahan gerakan cepat lari dua kakiku meninggalkan tempat itu. Mata itu masih sempat melirik aku saat ia dan dia melintas di atas kepalaku terbang melesat cepat seperti kecepatan pikiran, kembali menuju ke ujung semesta.
Kejadian terakhir itu telah dua purnama berlalu. Tatapan tajam itu masih membekas kasar dalam ingatanku. Malam ini tidak ada rasi dua tubuh seperti biasanya. Aku hanya melihat rasi bintang yang lain, sebuah rasi yang membentuk hanya satu tubuh bersayap saja. Sebuah bintang tiba-tiba melesat jatuh dari rasi itu ke tempat biasanya.
Kumunculkan setengah kepalaku dari sisi tumpukan karang. Tidak ada siapa-siapa yang tertangkap dalam pandangan gelapku. Saat itu, tiba-tiba tengkukku dihembus oleh tiupan lembut. Aku menoleh ke asal hembusan itu, seorang perempuan bersayap.
Aku mundur beberapa langkah darinya, dia mengikuti gerakan langkahku dengan gerakan langkah maju. Mata yang pernah ku tatap itu kembali beradu dengan mataku. Aku menunduk, tidak sanggup bertatapan langsung dengan mata yang kedua-duanya penuh dengan warna putih keperakan itu. Putih yang kadang bersinar terang, kadang redup, kembali terang, begitu seterusnya.
“Kamu pasti mengenal aku.” Kurasa bisikan lembut suaranya itu tiba-tiba masuk ke batin, bukan lewat daun telingaku.
“Yah, beberapa kali aku melihat kamu bersama si laki-laki.” Ku balas bisikannya dengan kata hati pula, tanpa membuka mulutku.
“Mengapa kamu melihat kami...? “ Dia menambahkan dengan nada protes. Kuangkat perlahan wajahku, seraya menjawab :
“Karena di sini pantaiku, ini duniaku dan aku bebas melihat apa yang ada di tempatku.” Dia akhirnya diam tidak mampu mencari timpalan balasan yang tepat atas perkataanku.
Diam-diam aku sebenarnya bertanya-tanya sendiri mengapa tidak ada si laki-laki bersama dia.
“Mengapa kamu sendiri, mana si laki-laki ?” tanyaku akhirnya hingga memecah kebekuan lamunanya.
Segera wajahnya memucat. Sepasang matanya tidak lagi bersinar. Dari sudut mata yang sebelah kiri menetes air mata jernih sedangkan sudut mata sebelah kanan mengalirkan darah kental kehitaman.
“Mana dia ?” desakku lagi.
“Dia telah mati. Aku benar-benar kehilangan dia dan aku terpaksa harus menyusul kepergiannya sebentar lagi ” jawabnya getir.
“Mengapa dia mati dan mengapa kamu harus mengikuti kematian itu?”
“Di dunia angkasa, untuk bertahan hidup kami harus melakukan hubungan badan. Kami tidak makan seperti yang kalian lakukan. Energi kehidupan akan kami dapati dari pasangan kami”
“Maksudnya ?”
“Kami diciptakan berpasangan. Setiap kami hanya bisa menyetubuhi pasangan yang telah diberikan kepadanya, tidak boleh dengan pasangan lain.”
Aku tidak mampu menahan otakku yang ingin berpikir membayangkan seperti apa kehidupan di dunia si perempuan itu. Energi didapatkan dari penyatuan badan, tanpa makan. Alangkah nikmatnya dunia seperti itu, pikirku singkat.
“Lantas mengapa si laki-laki pasanganmu mati?” kembali aku bertanya, berharap bisa mengurangi kebingunganku yang makin menggunung.
“Dia telah memaksakan tubuhnya menyatu dengan wanita lain. Mereka berdua sama-sama mati sesaat setelah melakukan hubungan terlarang itu.” Aku masih diam mendengar keharuannya.
“Bagaimana kamu akan melanjutkan hidup setelah kepergian si laki-laki pasanganmu?” tanyaku mengisi diam sesaat kami.
Kembali dia berbisik dengan mendekat, kali ini lebih lebut. “Sudilah kamu menggantikan dia, membagi aku energi kehidupan yang kamu miliki itu.”
Aku diam saja. Dia kemudian menunduk malu sambil berharap saat aku melangkahkan beberapa jejak ke arahnya, “Aku tidak mampu menolak...”, bisikku.
Aku tidak habis pikir, mengapa saat itu aku tidak menyempatkan bertanya apa jadinya nanti kalau kami melakukan suatu hubungan. Apakah itu terlarang atau sah-sah saja? Apakah aku akan mati?, atau mampukah aku memberikan energiku sebagai manusia biasa kepadanya sebagai makhluk angkasa yang bersayap?
Mungkin hasrat lamaku yang ingin menyentuh lembut tubuh itulah yang membuat akal sehatku mati. Sejak pertama kali melihat dia dengan si laki-laki, aku selalu membayangkan andai saja si laki-laki adalah aku. Kini aku akan menggantikan si laki-laki itu, tidak akan aku siakan kesempatan yang selalu aku idamkan ini karena aku tidak akan berandai-andai lagi.
Dia kemudian mendekat memeluk erat tubuhku yang telanjang. Aroma langit yang melekat di tubuhnya membuatku seperti melayang jauh di atas sana.
Perlahan namun pasti berdua kami sama-sama tergetarkan oleh birahi yang sebenarnya berbeda tapi terus dipaksa untuk menyatu.
Aku tidak merasakan lelah sedikitpun setelah itu. Aku masih ingin. Namun dengan tersenyum kecil dia kembali berbisik “terima kasih” sambil mengecup dadaku. Sayapnya kemudian dikepakkan, terbang lepas meninggalkan aku menuju ke ujung semesta.
......................
SENJA MENJINGGAI kawanan awan-awan kapas di ufuk barat. Aku masih menunggu, berharap rasi bintang perempuan bersayap itu lekas muncul meskipun matahari belum lebur dalam malam. Sudah dua puluh empat purnama aku selalu menunggu. Aku ingin semua darinya kembali.
Dari arah belakangku, kudengar langkah kaki yang bergegas. Seperti biasa, itu pasti ibu. Ia sodorkan padaku sepasang baju dan celanaku.
“Ayo, kita pulang. Besok kita ke kota. Haji Arsyad yang akan menanggung biaya perawatanmu di rumah sakit jiwa.” ujarnya dengan mata yang penuh semangat disertai senyum tipis di bibirnya.
Rumah sakit jiwa!!! Ibu selalu ingin mengajakku ke sana. “Kalau nanti ada uang, ibu akan mengajakmu ke rumah sakit jiwa”, sambil terus menangis, itu yang selalu ia katakan kepadaku, setiap malam, setiap ia membujukku pulang. Aku tak pernah sekalipun tega untuk menolak ajakannya. Tapi, kali ini aku memutuskan untuk tidak menuruti ibu. Aku terus memandang ke langit, menunggu rasi bintang perempuanku.
“Aku tak mau pulang!!!!”
***
Jogjakarta, suatu ketika

Dimuat di Seputar Indonesia