Walaupun baru tiga minggu menghuni kampung ini, tapi sudah cukup banyak kegiatan yang kami lakoni bersama penduduknya. Kami begitu cepat diterima, dan Ayah adalah orang yang paling bahagia karenanya.
“Mereka tak menengali buronan, Bu!” seru Ayah.
“Bagaimana mereka mengenalimu kalau televisi saja tak ada di sini, Yah,” sahut Ibu.
Kami tertawa lepas.
* * *
Kami pernah menghadiri pernikahan anak tunggal Haji Jakun, orang terkaya di kampung ini. Dua minggu yang lalu, kami juga berbaur dengan mereka yang bersukaria merayakan Idul Fitri. Kami juga telah diundang untuk menggunakan hak pilih dalam pemilihan kades satu minggu yang lalu (jangan tanya, bagaimana kami dapat diberikan kartu pemilih, kami manut saja). Sepuluh hari yang lalu, kami pun menjadi bagian dari barisan panjang di pinggir jalan besar kampung ketika Bupati diarak keliling kabupaten memamerkan Adipura yang diraih untuk yang keempatkalinya secara berturut-turut. Tapi, sungguh, aku tak pernah melihat kampung semeriap ini. Riuh sana-sini, seakan semua terlibat—bahkan ada yang memaksakan diri untuk terlibat dalam siklus kehidupan manusia: kematian!
Sungguh, aku takkan pernah percaya pada kata-kata Ibu, kalau hari ini tak menyaksikan revolusi arah tujuan persinggahan, revolusi topik pembicaraan, dan revolusi ekspresi besar-besaran warga kampung ini.
“Mereka hormat pada Nenek,” kata Ibu, tepat di awal kepindahan kami, ketika kubertanya mengapa beliau ngotot ingin sowan ke tempat wanita yang katanya berumur 80-an–-yang bahkan Ibu pun sudah ikut-ikutan memanggilnya ”Nenek” pula. Aneh!
“Kau tadi ke mana, Jo?” tanya Ayah ketika mendapatiku pulang menjelang malam. Walaupun tak ditampakkan, tapi aku tahu hari itu Ayah kesal karena aku tiba-tiba menghilang ketika mereka mengajakku ke rumah Nenek siang tadi. Dari Ayah pula, aku tahu bagaimana Ibu seakan-akan telah mengakrabi kampung baru ini.
”Ibumu sudah hampir setahun mencari kampung yang seperti ini. Selain terpencil, banyak yang tak tahu kalau kampung ini memiliki orang yang berkaromah seperti Nenek,”
Beberapa hari yang lalu, setelah solat magrib berjamaah—hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya, kami berkumpul di meja makan. Ayah banyak bercerita tentang Nenek. Keramahan, kesalehaan, kedermawanan, kepedulian, dan hal-hal baik lainnya. Telingaku bagai dipaksa mendengarkan dongeng. Tapi entah mengapa, lama kelamaan aku dapat menikmatinya. Bahkan melebihi keasyikan menyantap pepes ikan yang tercacah-cacah di piringku.
Ah Ayah, mengapa koruptor sepertimu tiba-tiba berbicara materi-materi langit. Ibu, perempuan yang ditakdirkan bersamamu pun bahkan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya; mengaminkan setiap sikap dan ucapanmu. Apakah mereka, maksudku Ayah, bertaubat? Sepertinya sulit untuk dipercaya.
Dan hari ini, wanita yang mereka agung-agungkan itu telah pergi untuk selama-lamanya. Nenek meninggal dunia pagi tadi.
* * *
AKU menangis walaupun hanya dalam hati. Aku menyesal walaupun tak tergurat di air muka. Aku bukan sedih karena kematian Nenek, tapi mengutuk diri yang tak sempat melihat langsung bagaimana sifat dan sikap baiknya ia tujukan pada setiap orang yang mengunjunginya, atau sekadar bertemu dengannya di jalan.Tiba-tiba rasa bersalahku membumbung tinggi. Semakin rapat kusimpan, semakin dalam kurasa. Sungguh, aku tak mengerti, mengapa aku menjadi sebegini.
“Nenek sudah dikubur, Jo,” Ayah berujar seakan-akan tengah menjawab pertanyaan dariku. Aku hanya mengangguk kecil sebelum diam-diam beringsut ke gudang kedap suara di belakang dan meraung sejadi-jadinya.
* * *
HAMPIR seminggu setelah kematian Nenek, Ayah dan Ibu tak berjeda hilir-mudik ke kerumunan tetangga, ke masjid, dan tentu saja ke kuburan Nenek (aku saja belum tahu di mana wanita renta itu dikebumikan). Mereka tak punya waktu untukku. Apalagi setelah dua hari yang lalu, mereka sibuk ke selatan, kebiasaan baru yang juga dijabani oleh hampir seluruh penduduk kampung ini, termasuk kampung tetangga. Setelah cukup lama kunantikan waktu senggang mereka—dan mereka pun tampaknya tak akan memilikinya, aku memutuskan bertanya perihal Nenek kepada seorang lelaki tua yang duduk sendirian di dalam masjid.“Engkau sudah ke makamnya?”
Aku menggeleng.
“Berapa usiamu, Nak?”
“Apakah ada batasan umur untuk mendengarkan cerita darimu?” Aku balik bertanya.
Pak Tua tersenyum, ia menggeleng kecil.
“Bulan depan 16 tahun, Pak?” Kuberitahu juga akhirnya. “Mmm… bagaimana? Bapak bisa bercerita?” tagihku.
Hening.
“Pergilah ke sudut manapun dari kampung ini. Rumput teki pun jadi cokelat ketika Nenek meninggal dunia,” Pak Tua memecah senyap.
“Ceritakanlah padaku perihal yang baik-baik tentang dirinya, Pak.”
“Heh,” Pak Tua menyeringai, “memangnya keburukan apa yang melekat padanya? Kalaupun ada, itu hanya karangan saja.”
Aku menekur wajah yang tiba-tiba memerah.
Kembali Hening.
Kulihat Pak Tua menatap mega. Ia menerawang jauh. Tiba-tiba setiap penggal cerita yang dituturkannya merangkai bagian-bagian film yang tengah diputar ulang. Ada layar tancap di hadapan kami. Baru kali ini aku tahu kalau Nenek juga pemain film. Kami menonton dengan begitu khusyuk. Kami bahagia sekali sampai menangis tersedu-sedu. Pak Tua terus saja bercerita.
* * *
Nenek hidup sebatang kara. Tapi itu hanya secara garis darah. Sejatinya, semua penduduk kampung ini adalah keluarganya. Lebih tepatnya, penduduk kampunglah yang merasa memiliki Nenek. Sebenarnya tak ada yang layak disebut sebagai keistimewaan dari seorang renta seperti beliau. Nenek hanya seorang guru ngaji yang mengajar ratusan anak bakda Isya dengan bayaran sukarela seratus perak per hari yang dimasukkan murid-muridnya ke dalam kotak kayu kecil yang tak berkunci. Tapi, kharismanyalah yang membuat kami merasa begitu tiada apa-apanya ketika berhadapan dengan beliau. Mungkin, keikhlasannya dalam beramal yang membuatnya memiliki derajat seperti itu.
“Nenek membutuhkannya untuk menyambung napas saja, Nak,” katanya ketika ditanya iuran ngaji yang begitu kecil.
“Bagaimana Nenek membeli baju, atau untuk sebuah Al Qur’an murahan sekalipun?” tanya kami antusias.
“Apa yang dimakan hari ini, itulah milik Nenek. Selebihnya itu hak orang lain,” jawabnya lembut.
Kami yang sedari tadi menanyainya terpekur. Tak menunggu lama, kami mengucap salam, pamitan ke rumah masing-masing. Tak ada yang berbahasa. Sampai kata-kata Nenek itu hilang dalam ingatan kami.
Sejak itu, tak ada lagi yang memberikan Nenek sejumlah uang, sayur-mayur segar, gulai kambing, atau baju layak pakai. Memang selama ini pemberian-pemberian itu selalu diterimanya. Tapi bukan rahasia lagi kalau semuanya beliau berikan kepada murid-muridnya yang penyemir sepatu, pengemis, atau anak-anak yang membutuhkan lainnya.
Di waktu-waktu tertentu, Nenek acapkali tampak ketika ada warga yang mengadakan hajatan. Biasanya Nenek membawakan tuan rumah pisang, nenas, srikaya, atau buah lainnya, yang dipetik dari kebun belakang rumahnya. Dan seperti sudah mentradisi, ketika orang-orang mendengar beliau tengah menuju ke tempat hajatan, orkes pun kedap bunyi, dan para tamu yang tertawa lepas tiba-tiba mengunci mulut. Dapat dipastikan, dari anak-anak hingga orangtua takkan ada yang melewati beliau tanpa terlebih dahulu dengan takzim mencium tangan kanannya.
Nenek juga tak pernah absen membesuk ketika ada penduduk yang sakit. Biasanya beberapa hari setelah itu, keadaan orang-orang yang dibesuknya berangsur membaik. Pun biasanya beberapa hari setelah kedatangannya, orang-orang yang sulit meninggal akan menemui ajalnya tanpa harus tersengal-sengal.
“Nak, bukan karena Nenek semuanya berlaku, tapi Gusti Allah-lah yang menghendakinya,” kata Nenek ketika keluarga yang dikunjungi menunduk-nunduk sebagai ungkapan rasa terimakasih karena sembuhnya atau dengan mudahnya meninggal salah satu dari anggota keluarga mereka.
Ketika Nenek melayat ke rumah orang yang meninggal dunia, lagi-lagi bagai sudah adatnya, ahli musibah akan segera menyimpan ragam makanan dan minuman yang telah disiapkan untuk para pelayat yang membaca Yaasin. Pernah suatu ketika, Nenek berbicara dengan tekanan tak biasa kala mendapati ahli musibah tengah menghidangkan nasi rendang bakda tahlilan.
“Tak ada rimbanya, ketika orang dijemput Israil, kita justru menjemput gula-gula di sana!” tegurnya kala itu.
Di lain waktu ia pernah berujar, “Nenek akan bertemu mereka di akhirat kelak,” ketika banyak orang yang bertanya apakah ia tidak punya keinginan berkumpul dengan keluarga di akhir hayatnya.
“Di surga ya, Nek?”
Nenek tersenyum kecil sebelum berujar, “Nenek tidak melihat mereka di sana.”
“Jadi keluarga Nenek tak ada yang masuk surga?”
Nenek kembali tersenyum. “Di akhirat nanti, Nak,” ia menghela napas, “ketika semua digiring ke padang yang merapat dengan matahari.”
“O ya Nek, memangnya siapa yang Nenek lihat di surga?”
“Adakah satu di antara kami?” tanya yang lain
“Atau murid-murid ngaji Nenek?” yang lain menimpali.
Anak-anak ngaji semringah menanti jawaban.
Nenek tersenyum.
Kami pun tersenyum.
Tiba-tiba Nenek berkedip pelan. Tepat ketika kelopak matanya menutup sempurna, bulir-bulir hangat sebesar biji jagung jatuh dari ceruk mata tuanya. Tanpa ekspresi, Nenek menangis.
Tiba-tiba saja bulu kuduk kami merinding. Kami diserang ketakutan yang sangat. Saat itu, kami pamit tanpa mengucap salam.
* * *
“Aku sedih, anak muda,” lelaki beruban di hadapanku mengusap mata sembabnya. Ia baru saja menyelesaikan ceritanya.“Eh, eh, ya Pak,” aku baru sadar kalau layar tancap telah digulung.
“Hapus dulu, Nak,” Pak Tua menunjuk ke mataku yang basah.
Aku bergegas mengucek mata. Kami sama-sama tersenyum.
“Bapak seorang garin di sini,” ia kembali menerawang. “Tadinya masjid ini begitu ramai. Nenek selalu bersama kami di masjid ini. Walaupun safnya jauh di belakang, tapi kami merasa ialah yang menuntun kami melakoni setiap gerakan solat. Maklum, kami tahu bagaimana tata cara solat dari beliau.”
Aku mengangguk dalam. Tiba-tiba aku ingin menangis lagi.
“Tapi lihatlah sekarang, hanya seminggu setelah meninggalnya Nenek, Bapak sendiri yang terpekur di sini.” Gurat-gurat kesedihan terlukis di wajahnya.
”Memangnya ke mana jamaah masjid yang banyak itu, Pak?”
Belum sempat Pak Tua menjawab, tiba-tiba terdengar suara-suara yang memanggilku.
Ayah dan Ibu sudah di pintu masjid.
Aku berpamitan dengan Pak Tua. Kulihat mendung di wajahnya. Ia menangis lagi.
* * *
“Ke mana kita, Yah?”“Ke selatan,” Ayah menjawab sekenanya.
“Ke tempat Nenek,” Ibu menimpali.
“Ke kuburan Nenek?” tanyaku lagi.
Mereka tak menjawab. Langkah mereka makin besar. Aku kelelahan menjajarinya.
“Aku mau, Yah. Sekarang aku sudah percaya cerita tentang kebaikannya.”
Mereka saling berpandangan, tapi hanya sejenak. Mereka bahkan mempercepat langkah.
Tak lama kemudian, kami memasuki sebuah hutan. Aku bergidik. Langkahku melambat, tapi Ayah menarik paksa tanganku. Ibu pun tampak tak memedulikan napasku yang tersengal-sengal.
“Tandunya sudah kausiapkan, Bu?” Ayah menoleh pada Ibu sejenak. Langkahnya tidak melambat sedikitpun.
Ibu mengangguk.
“Untuk apa tandu, Yah?” Aku memandang ayah penuh tanya.
Ayah diam. Ibu tersenyum kecut. Kami makin tergesa-gesa.
* * *
Aku hampir mati kelelahan kalau Ibu tak berseru bahwa kami sudah sampai. Aku masih mengatur napas ketika mataku menangkap keganjilan tempat ini. Kulihat kuburan di mana-mana. Orang-orang sibuk berlalulalang dengan sekeranjang bunga, dupa, arang, kemenyan, buah mengkudu, kendi-kendi tanah liat yang berisi air, dan banyak lagi. Tempat ini seperti pasar, masing-masing menuju ke satu pusara. Aku mendekati pusara itu. Aku hanya ingin tahu apa yang terjadi di sana. Semakin aku mendekat, perasaanku makin tak karuan. Memang benar, seperti dugaanku, itu adalah pusara Nenek. Tak ada nisan di sana, hanya sebatang orang-orangan yang terbuat dari bambu dan batok kelapa yang sudah kering tertancap di kepala pusara.
Orang-orang di sekelilingku makin sibuk, makin riuh, makin kacau. Mereka mulai membakar kemenyan, menabur bunga, menulis rajah, bahkan tak sedikit pula yang mengangguk dan menggelengkan kepala dengan irama yang makin cepat. Aku makin tak mengerti. Aku masih berusaha memastikan bahwa apa yang kusaksikan bukanlah mimpi.
Aku menoleh ketika suara-suara aneh berebutan menyeruak dari sana. Kali ini dari mulut mereka mengalun mantra, zikir, do’a, dan beragam permintaan yang bergemuruh tak beraturan. Tiba-tiba terdengar lengkingan dari arah pusara. Di atasnya, darah bermuncratan. Seorang balita yang beralaskan rajutan bambu terbaring dengan kepala yang telah terpisah dari lehernya. Aku bergidik.
Aku benar-benar dalam kekalutan dan ketakutan yang sangat. Aku mencari-cari Ayah dan Ibu, tapi mereka tak tampak lagi. Di belakangku, orang-orang berjejalan. Tak ada lagi celah kosong di tempat ini. Di atas ilalang dan rumput kanji yang meranggas, di bawah pepohonan mahoni, durian hutan, rambai, jati, waru, petai cina, damar, dan aneka tumbuhan hutan lainnya, orang-orang bersimpuh, menyembah-nyembah ke arahku. O bukan, ternyata mereka menyembah pusara yang berada tak jauh dariku. O o, mereka juga duduk di dahan-dahan pohon. Bahkan, tak sedikit yang bergelayutan di sana. Suara mereka makin bergemuruh. Aku mencoba berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkonganku. Tiba-tiba napasku sesak. Aku terhuyung, jatuh ke tanah.
“Tak ada yang mengalahkan tumbal ini, Om. Siapkanlah permohonanmu pada Nenek dari sekarang. Nenek pasti bangkit dan tiada mungkin Gusti Allah menolak permintaannya. Kau tak ingin hidup di balik jeruji, kan?”
Hanya itu kalimat terakhir yang kudengar. Samar-samar kulihat Ayah mengangguk pelan, dan Ibu menangis tak berdaya di sampingnya. Tiba-tiba aku merasa tubuhku seperti digotong di atas tandu yang terajut dari bambu. Aku tak ingat apa-apa lagi. ***
Lubuklinggau, 2010
Dimuat di Suara Pembaruan
